Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Standarisasi Buku Pendidikan, Sebuah Keniscayaan

Kompas.com - 12/03/2021, 08:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Awal bulan ini viral di media sosial perihal buku Siswa “Sejarah Gereja Kelas VII untuk Sekolah Menenengah Pertama Teologi Kristen. Buku tersebut menjadi perbincangan para netizen karena menyebut bahwa gereja Katolik adalah bagian dari gereja Nestorian.

Bertolak dari berita yang viral itu, pada 2 Maret, Pastor Yohanes Kopong, warga Indonesia yang berkarya di Filipina, menulis surat terbuka secara pribadi kepada enam institusi yang dianggap bertanggung jawab atas kesalahan data dan informasi pada buku pelajaran agama Kristen itu.

Keenam pihak yang dimaksud adalah Menteri Agama Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Republik Indonesia, Dirjen Bimas Kristen Republik Indonesia, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Yayasan, Kepala Sekolah dan Seluruh Guru Agama Kristen Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen, dan penulis dan editor buku siswa Sejarah Gereja Kelas VII Untuk Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen.

Buntutnya, pada 4 Maret, Kasubdit Pendidikan Dasar - Direktur Jenderal Bimas Kristen Direktur Pendidikan Kristen memutuskan untuk menarik kembali dan menghentikan sementara waktu penggunaan buku tersebut.

Kasus semacam itu memang bukan pertama kali terjadi. Pada awal Febuari 2020 lalu dunia pendidikan dikagetkan oleh temuan pada buku tematik SD/ MI kelas 5 berjudul Peristiwa Dalam Kehidupan.

Pada salah satu halaman buku pelajaran itu tertulis bahwa “Organisasi-organisasi yang bersifat radikal adalah Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).”

Baca juga: Beredar Buku Pelajaran Siswa SD di Tegal Sebut NU Radikal, Disdik Minta Tak Lagi Dipakai

Selain itu, masih terdapat sederet temuan mengenai buku-buku pelajaran yang bermasalah, karena kontennya yang bernuansa SARA atau memuat benih radikalisme.

Belum terhitung buku-buku teks atau buku ajar dan modul yang memuat informasi dan data ilmu pengetahuan yang tidak akurat, sehingga mewariskan pemahaman dan wawasan pengetahuan yang tak bermutu kepada para peserta didik.

Standarisasi pengadaan buku pendidikan

Merebaknya kasus buku-buku pendidikan yang tidak bermutu sepertinya mengisyaratkan adanya "api dalam sekam" di dunia pendidikan kita. Terutama, dalam sistem dan mekanisme pengadaan atau penerbitan buku-buku teks yang dipakai oleh berbagai sekolah/universitas kita.

Memang, sejauh ini, Kementerian Pendidikan dan Budaya bersama para pemangku kepentingan pendidikan lainnya sangat gencar membahas dan mengupayakan standarisasi mutu pendidikan, yang mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana-prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian.

Namun, ketika membahas mengenai standar isi yang meliputi kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, dan kalender pendidikan/akademik, para pengambil kebijakan pendidikan sepertinya mengabaikan perihal standar pengadaan buku-buku pendidikan.

Alhasil, seperti sudah disebutkan di atas, muncullah buku-buku pelajaran/kuliah yang ditulis sekenanya saja sehingga jauh dari standar mutu yang diharapkan.

Alih-alih bicara soal mutu, berbagai kasus memperlihatkan bahwa ada banyak buku teks (buku pelajaran atau pun kuliah) yang justru merusakkan karakter peserta didik dengan menanamkan benih kebencian berdasarkan SARA, radikalisme, kekerasan dan permusuhan.

Selain berpotensi merusakkan karakter diri generasi muda, mengoyakkan kerukunan hidup bermasyarakat, buku-buku pendidikan tak bermutu itu dapat mengancam integrasi bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.

Belajar dari pengalaman Amerika Serikat

Selama beberapa dekade, buku teks dipandang sebagai dasar pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas di Amerika Serikat. Pada dekade 1980-an, warga Amerika Serikat mengeluhkan perihal mutu pendidikan nasional yang rendah, mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah hingga tinggi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com