Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernikahan Anak Meningkat, Akademisi Unair: Ini Solusinya

Kompas.com - 30/12/2020, 10:05 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Sebagai salah satu negara dengan penduduk banyak, Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi.

Berdasar data 2018, terkait tingkat pernikahan anak, Indonesia tercatat sebagai negara peringkat ketujuh dunia dan kedua di Asia Tenggara.

Hal tersebut semakin menjadi perhatian karena situasi pandemi malah mendatangkan lonjakan kasus pernikahan anak.

Bahkan data dari pengadilan agama nasional, tercatat ada 35.000 permohonan dispensasi menikah yang akhirnya menyumbangkan angka pernikahan dini di Indonesia.

Baca juga: Akademisi Unair Ciptakan Alat Rehab Medik untuk Stroke

Menurut Dosen Antropologi Universitas Airlangga (Unair) Dr. Pinky Saptandari, E.P., Dra., MA., pernikahan anak memiliki dampak buruk yang begitu besar baik terhadap individu terkait maupun masa depan bangsa.

Tak hanya itu saja, pernikahan anak juga merupakan masalah yang secara khusus dapat membelenggu hak-hak perempuan.

"Diskriminasi pada perempuan adalah salah satu akar masalah dari isu ini," ujar Dr. Pinky seperti dikutip dari laman Unair, Rabu (30/12/2020).

Pernikahan anak dapat membawa dampak buruk baik dari sisi:

  • kesehatan fisik
  • psikis
  • pendidikan
  • hak-hak hukum dan politik
  • maupun potensi akan kekerasan dalam rumah tangga

Bagi dia, situasi itu sebagai defisit demokrasi dan akal sehat yang seringkali dianggap sebagai solusi. Padahal, pernikahan anak adalah masalah sosial akut yang memiliki dampak besar dan sayangnya masih sulit diatasi.

Empat hal dorong pernikahan anak

Setidaknya ada empat hal yang mendorong pernikahan anak dan tendensinya yang tinggi pada marginalisasi hak perempuan.

1. Masalah pertama adalah feminisasi kemiskinan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah perempuan dalam kelompok miskin serta perempuan sebagai kepala rumah tangga.

Kemiskinan yang memaksa perempuan untuk menjadi satu-satunya pencari nafkah membuat anak-anak tidak terlindungi dan tidak terpenuhi hak-haknya.

2. Kedua, tradisi dan budaya yang seringkali menuntut kepatuhan perempuan terhadap orang tua. Hal ini diikuti dengan konsep Ibuisme yang mengamini tindakan apapun yang dilakukan perempuan untuk keluarga, kelompok, maupun negara tanpa mengharapkan imbalan.

3. Konsep dan tradisi itupun tidak jarang diikuti dengan tafsir-tafsir agama yang digunakan sebagai justifikasi dan vonis yang harus diikuti oleh perempuan.

Baca juga: Tips Pengendalian Rayap dari Akademisi IPB

"Kepatuhan harusnya punya batas. Kalau akhirnya berpotensi merusak masa depan, maka wajib dipikirkan ulang. Pernikahan dini berpotensi besar pada kematian ibu hamil, kanker, maupun stunting pada anak yang dilahirkan," terangnya.

4. Selain itu jika dilihat secara luas pernikahan anak memiliki permasalahan yang multifaktor dalam aspek budaya, tekanan ekonomi, rendahnya pendidikan, maupun penggunaan teknologi komunikasi yang tidak terkontrol.

Solusi tekan pernikahan anak

Untuk itulah Dr. Pinky menawarkan solusi berupa rekayasa atau dekontruksi budaya yang diyakini mampu mengatasi isu ini.

"Salah satu contohnya ada di NTB. Di sana beberapa gereja menerapkan aturan agar tidak membaptis anak hingga usia tertentu. Tujuannya agar kelangsungan pendidikan mereka dapat terjamin," katanya.

Selain itu, pendidikan pada anak juga berperan sentral untuk menumbuhkan tidak hanya pemikiran namun juga perasaan dan kedewasaan anak.

Hal ini tentunya juga harus diikuti dengan lingkungan keluarga yang supportif dan memiliki kesadaran, apalagi mengingat situasi pandemi kini yang membuat keluarga menjadi lingkungan terdekat bagi anak.

Adapun langkah selanjutnya adalah memperkuat otonomi perempuan dalam keluarga. Setidaknya ada tiga otonomi yang harus dimiliki perempuan dalam berumah tangga, yakni:

  • otonomi pada akses keuangan
  • mobilitas
  • kekuatan dalam pengambilan keputusan

Sedangkan pada tingkat masyarakat, Dr. Pinky melihat komunitas sebagai sumber pembelajaran yang efektif.

"Kita sebagai akademisi harusnya membaca feminisme dari masyarakat, bukan dari buku saja. Kita harus melihat realita dan terbuka pada paradigma baru. Gaungkan gerakan bersama cegah pernikahan anak," ajaknya.

Baca juga: Akademisi Unpad Bagikan Tips Sederhana Memilih Produk Halal

Tentunya, gerakan tersebut mencakup pengubahan pola pikir, pelibatan tokoh agama dan kelembagaan, memperkuat komitmen politik dan kebijakan pemerintah, serta memasukkan isu pernikahan anak dalam kebijakan nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com