Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Rizali
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan, Kabid Pendidikan NU Circle, dan Presidium Gernas Tastaka

Menghafal, Seburuk Itukah ?

Kompas.com - 01/10/2020, 10:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Menghafal itu sebuah cara dan tidak ada yang buruk jika digunakan proporsional, semisal menghafal ayat Alquran. Jadi kuncinya adalah proporsional.

Dan, pagi ini, seorang guru home schooling di Jakarta membagi kegundahan hati dengan menunjukkan video muridnya kelas 3 SD sedang "dihukum" orangtua dan gurunya menghafal perkalian selama 2 hari untuk menggapai Kompetensi Dasar (KD) yang intinya "menjelaskan perkalian".

Kami, langsung berdiskusi di WAG dan belum stop hingga saya menulis opini ini. Saya berpendapat, sebaiknya kewajiban menghafal hanya untuk kitab suci saja, karena bagaimana mungkin "kompetensi menjelaskan perkalian" dan memahami maknanya jika yang dilakukan adalah penghafalan?

Sebuah cara yang salah dalam menggapai tujuan KD yang sudah baik.

Baca juga: Mengembalikan Roh Pendidikan lewat Pedagogi Belajar Daring dari Rumah

Mengukur kompetensi bernalar

Uji PISA, Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) bertujuan mengukur kompetensi bernalar, dan sungguh sangat sulit bisa meraih hasil yang baik jika cara pembelajaran (instruksional) masih menggunakan cara cara tak memiliki dasar ilmiah.

Yang terjadi adalah, murid tak semakin kompeten dalam menalar dan kecemasan serta trauma kepada matematika dan lebih parah lagi, cemas dan trauma kepada sekolah meningkat.

Dua puluh tahun lalu saya sering guyon bahwa sekolah dasar terbaik itu adalah SD Inpres. Lho kok?

Iya, karena gurunya kadang kala tak hadir dan murid memiliki waktu lebih banyak untuk kelayapan "ngebolang" dan alam menjadi guru pengganti. Bukankah para calon Nabi itu selalu di sekolahkan ke alam sebagai penggembala?

Alam itu sabar dan mengajari murid sesuai kapasitasnya. Ujianpun tidak wajib, kecuali sang murid menghendaki.

Saya bersyukur tidak termasuk mayoritas masyarakat kita yang menghindari matematika karena cemas bahkan trauma, mungkin karena guru SR/SD saya dulu termasuk jempolan atau materi mapel berhitung (buku "Cerdas Cermat") saat itu tidak dipaksakan wajib "tuntas" seperti saat ini.

Atau karena pemerintah saat itu juga tidak cemas karena diolok-olok di dunia karena hasil uji PISA yang selalu buruk.

Hanya mengukur di ujung

Matematika yang saat SD/MI lebih fokus di aritmatika atau numerasi seharusnya menjadi awal proses otak manusia dalam menalar.

Ketika belajar menalar ini menjadi momok karena hanya dilakukan dengan cara tunggal, maka lupakanlah pembentukan otak yang bernalar itu.

Ketika Kompetensi Dasar (KD) di kurikulum Indonesia jenjang SD/MI sudah ditetapkan, maka tugas guru kelas adalah mengurai dan merumuskan cara menyampaikannya.

Namun, percayakah Anda bahwa mayoritas guru SD/MI tak melakukannya dan 100 persen bukan kesalahan mereka, karena pemerintah sudah puluhan tahun adalah pemerintah dengan rejim "nungguin hasil diujung" dengan membawa alat ukur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com