Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencegah Anak Terpapar Residu Negatif Pemilu

Padahal, sudah bertahun-tahun lamanya kita disajikan ihwal pertikaian tak bertepi dan saling bela membabi buta.

Komentar provokatif hampir bermunculan tanpa kenal henti di linimasa media sosial. Bahkan saling tuduh dan menghina.

Bukan hanya di tingkat elite — yang kadang hanya bentuk pragmatisme semata — namun masyarakat kelas bawah yang mungkin tidak pernah dikunjungi sang elite juga ikut-ikut bermusuhan. Semuanya terjadi hanya karena pilihan politik fanatik.

Walhasil, perilaku-perilaku yang memicu terbelahnya kehidupan di lingkungan (media) sosial itu tanpa disadari menjadi kebiasaan sehari-hari.

Karena hasrat agar pilihan kita menjadi pemenang utama, kita terlena sehingga tanpa sadar telah memberi ‘tunjuk ajar’ kepada generasi dini.

Alih-alih berharap terciptanya keteladanan dari pesta politik, kita sebagai orangtua malah menjadi biang provokator di lingkungan keluarga. Menutup mata atas dampak negatif yang kelak akan menjalar pada jiwa anak-anak itu.

Padahal dari besarnya kasus-kasus kekerasan yang ada, bukan hanya sebagai korban, pelaku yang berusia anak juga sangat mengkhawatirkan.

Menurut catatan Kemenpppa, sampai saat ini setidaknya ada 17,4 persen pelaku kekerasan yang berstatus anak.

Seperti tragedi perundungan anak, misalnya. Kak Seto dalam tulisannya di Kompas.com "Bukan Prevensi, Saatnya Mitigasi Perundungan", sampai menegaskan betapa pentingnya menghadirkan mitigasi perundungan pascakejadian.

Menurut Kak Seto, langkah tersebut sangat diperlukan guna relasi antarmurid, antarkeluarga, serta sekolah tidak semakin panas.

Artinya apa? Di saat kasus kekerasan terhadap anak telah hadir, upaya memadamkannya tidaklah mudah.

Selain kita akan dihadapkan pada perbedaan sudut pandang dari masing-masing anak, juga akan ada perbedaan sudut pandang antarorangtua maupun guru di sekolah. Akhirnya kita juga akan berhadapan dengan upaya-upaya yang bisa berakhir dengan saling menyalahkan.

Dalam situasi demikian, seharusnya pemerintah yang memiliki banyak sumber daya mengambil langkah cepat.

Jika semakin telat, apalagi dibiarkan larut dan diurusi seadanya, maka kondisi yang terjadi akan semakin parah. Akhirnya kita semakin terjebak dalam kubangan utang keteladanan.

Sementara anak-anak terus-menerus menikmati perilaku-perilaku nir empati. Dengan kondisi demikian, apakah kita tidak mengkhawatirkan akan masa depan negeri ini?

Momentum debat kandidat capres dan cawapres sebenarnya bisa dijadikan titik tolak dalam menciptakan keadaan kondusif tutur dan perilaku pada generasi dini.

Bukan sebaliknya, mereka malah diajarkan untuk menomor empatkan etika, hanya karena nomor 1, 2, dan 3 adalah pilihan kita masing-masing. Bukankah begitu?

Parahnya lagi definisi etika yang sudah sama-sama kita pahami, alih-alih menjadi bias terjemahannya hanya karena beda pilihan dan selera.

Tentunya kita telah merasakan aura dan dampak dari debat-debat Pilpres, beberapa waktu lalu. Mumpung masih ada satu debat lagi dan kebetulan tema besarnya ada yang berkaitan dengan pendidikan.

Maka alangkah baiknya, di debat terakhir nanti setiap kandidat dengan pendukungnya masing-masing melakukan puasa untuk saling merendahkan, apalagi menghujat.

Berikanlah edukasi kepada anak-anak yang kebetulan nimbrung menonton debat di ruang keluarganya masing-masing.

Inspirasikan kepada mereka bahwa membangun bangsa perlu kolaborasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena menjadi pemenang harus menyiapkan banyak ruang untuk merangkul dan menutup hasrat untuk memukul.

Sampaikanlah wejangan kepada anak-anak yang kebetulan membaca postingan-postingan di media sosial saat debat berlangsung.

Dengarkan kepada mereka bahwa usaha untuk menang tidak harus dengan mematikan karakter lawan. Karena membangun bangsa perlu kesetiakawanan dan bukan sekadar hasrat untuk mendapatkan jabatan.

Pilihlah diksi-diksi baik untuk didengar anak-anak yang rasa ingin tahunya sangat tinggi apa yang terjadi setelah perhelatan debat dilaksanakan.

Kabarkan kepada mereka bahwa kata dan perilaku harus saling memandu. Karena menjadi tokoh sentral harus siap untuk dituntut dalam menyempurnakan kepribadian yang menjunjung tinggi etika dan moralitas.

Tunjukankanlah keberanian untuk diketahui anak-anak yang di antaranya sedang kagum-kagumnya dengan pilihan orangtuanya masing-masing bahwa benar adalah benar, salah adalah salah.

Meskipun yang benar itu kebetulan berseberangan pilihan dan yang salah kebetulan adalah teman karib atau bagian dari keluarga sendiri.

Karena menjadi pemimpin harus memiliki nyali dalam menegakkan aturan sekaligus membangun semangat kemanusiaan.

Yakinkanlah kepada anak-anak, sebelum mereka menyaksikan debat dalam rangka partisipasi para keluarga untuk menumbuhkan jiwa demokrasinya sejak dini.

Pastikan para kandidat beserta tim suksesnya mampu menunjukkan kemampuannya dalam menjaga para pendukungnya, baik yang berada dalam ruang debat maupun yang telah siap bergerilya di dunia maya.

Tunjukkan kepada mereka bahwa menjadi orang nomor satu bangsa mampu untuk menggerakkan rakyatnya untuk bersikap sportif dan positif melalui langkah-langkah kecil: menertibkan pendukung-pendukungnya.

Terakhir, mudah-mudahan debat dan kontestasi Pemilu bisa menihilkan residu-residu yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk yang juga membahayakan kata dan perilaku anak-anak kita.

https://www.kompas.com/edu/read/2024/01/28/082622071/mencegah-anak-terpapar-residu-negatif-pemilu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke