Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar Bahasa Ibu Berbasis Komunitas

"Living Tongues: Institute for Endangered Languages", satu lembaga yang bergiat dalam riset dan preservasi bahasa-bahasa di dunia, terutama bahasa-bahasa minoritas di negara-negara berkembang punya jawaban sendiri.

Lembaga nirlaba dan nonpemerintah ini berkantor di Oregon Amerika Serikat. Tim riset Living Tongues mendokumentasi praktik budaya dan bahasa yang dalam kategori endangered languages, bahasa-bahasa yang terancam punah, memublikasikan hasil-hasil riset, pelatihan digital dan lokakarya untuk aktivis bahasa, dan berkolaborasi dengan masyarakat untuk menghidupkan bahasa berdasarkan program revitalisasi bahasa.

Setelah berpuluh tahun meriset dan mempreservasi sejumlah bahasa daerah di dunia, Living Tongues sampai pada satu simpulan: bahasa tergerus, terancam punah, bahkan punah bukan karena penutur jati, native speaker-nya berhenti berbicara.

Bahasa punah karena para ibu tidak lagi terbiasa dan membiasakan anak-anaknya—sebagai generasi pewaris bahasa—menggunakan bahasa ibu di lingkungan rumah dan kampung.

Ada tiga hal dapat dipahami dari temuan Living Tongues. Pertama, bahasa-bahasa daerah tergerus, terancam punah, bahkan punah justru di rumah penutur sendiri, bahkan di kampung sendiri.

Kedua, ketergerusan, keterancaman, dan kepunahan itu karena penutur jatinya mengabaikan, bahkan meninggalkan bahasanya sendiri.

Ketiga, setelah meninggalkan bahasa ibunya, penutur jati menggunakan satu bahasa lain dalam komunikasi sehari-hari.

Tiga hal ini tidak berlangsung dalam waktu singkat dan cepat, tetapi secara perlahan, bahkan keterjadian itu tidak disadari oleh penuturnya sendiri.

Ketika sadar, para penutur jati yang berusia tua mendapati kenyataan anak-anak dan cucu-cucu mereka tidak bisa lagi berbahasa ibu.

Generasi yang seharusnya menjadi pewaris bahasa ibu, justru telah menjadi penutur jati baru bagi bahasa lain.

Kejadian kematian bahasa ini—meminjam sebutan David Crystal (2014), language death, justru terjadi pada wilayah majemuk bahasa ibu dan di dalam kemajemukan bahasa ibu itu, ada satu bahasa yang berfungsi menjadi “jembatan sosial” bagi masyarakat multibahasa dalam berinteraksi.

Bahasa itu, secara teknis disebut sebagai lingua-franca, bahasa bersama yang digunakan dalam komunikasi lintasetnik, antarpenutur jati masing-masing bahasa suku bangsa, tepatnya bahasa pertama yang diperoleh setiap anak dalam teritori tradisional wilayah pakai bahasa ibu.

Ambil contoh. Saya punya survei kecil-kecilan tentang kebiasaan penggunaan sejumlah bahasa Minahasa di Sulawesi Utara.

Bahasa-bahasa itu oleh ahli disebut sebagai bahasa-bahasa ToN-: bahasa Tondado, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang/Tombatu, Tombulu, juga bahasa Ratahan/Pasan/Bentenan.

Responden dalam survei ini adalah para ibu paruh baya dengan usia 50-an tahun. Para ibu ini bermukim dan bekerja di wilayah Minahasa. Tentu saja anak-anak mereka juga lahir dan tumbuh besar di wilayah pemakaian bahasa-bahasa Minahasa.

Ada enam pertanyaan tentang kebiasaan mereka menggunakan bahasa ibu/bahasa daerah di kampung atau di lingkungan rumah dalam aktivitas sehari-hari.

Apa temuannya? Anak-anak para ibu ini tidak lagi bisa dan biasa menggunakan bahasa daerah—bahasa-bahasa Minahasa. Rentang usia anak-anak mereka adalah 10—30 tahun. Anak-anak ini hanya bisa menggunakan bahasa Melayu Manado, lingua-franca bagi masyarakat Sulawesi Utara.

Riset sejumlah kolega saya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun (Rainannur Latif, dkk) pada 2008 tentang pola-pola penggunaan bahasa daerah di Maluku Utara menemukan kenyataan yang relatif sama dengan hasil survei saya di atas.

Riset itu menemukan satu fakta bahwa pasangan suami istri (sebagai orangtua) usia muda penutur jati beberapa bahasa daerah di Maluku Utara, tidak biasa lagi menggunakan bahasa daerahnya di lingkungan rumah/keluarga.

Karena itu, anak-anak mereka tidak bisa dan biasa lagi menggunakan bahasa daerah/bahasa ibu dari orangtua mereka.

Suami istri usia muda ini telah meninggalkan bahasa ibunya dan memilih bahasa Melayu Ternate sebagai bahasa yang digunakan sehari-hari di lingkungan rumah.

Karena itu, bahasa pertama atau bahasa ibu anak-anak mereka adalah bahasa Melayu Ternate, bukan lagi salah satu bahasa daerah di Maluku Utara.

Simpulan Living Tongues dan dua temuan di atas mengonfirmasi bahwa bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu telah ditinggalkan oleh penutur jatinya sendiri.

Dalam artikel di harian Kompas, 21 Februari 2022, saya menyebut bahwa penutur bahasalah yang menjadi pembunuh bagi bahasanya sendiri. Mereka menggenosida bahasa ibunya.

Mungkin pernyataan yang terlalu ekstrem. Namun, fakta semakin tergerusnya sejumlah bahasa daerah di Indonesia, terutama di Indonesia bagian timur adalah bukti tentang “bunuh diri bahasa” secara tidak sadar dilakukan oleh penuturnya sendiri.

Proses memunah

Fakta tentang makin ditinggalkannya bahasa daerah sebagai bahasa ibu oleh penutur bahasa etnik di Indonesia, terutama di Maluku Utara dapat kita gambarkan proses penggerusannya sebagai berikut.

Pertama-tama, orangtua, terutama para ibu tidak menggunakan bahasa ibunya kepada anak-anak mereka di lingkungan rumah.

Para ibu mulai mengenalkan bahasa lingua franca kepada anak-anak mereka. Para ibu hanya menggunakan bahasa ibu (atau bahasa daerah) kepada sesama orang-orang yang seusia dengan mereka.

Artinya, bahasa ibu hanya digunakan oleh para orang tua, sedangkan anak-anak mereka tidak lagi mendapatkan kesempatan mendapatkan bahasa ibu.

Pilihan dan sikap bahasa (language attitude and language choice) telah menghilangkan kesempatan hak memperoleh bahasa ibu (language right) dari ibu mereka sendiri.

Ini terjadi justru pada saat anak-anak mereka telah siap secara psiko-kognitif memperoleh bahasa ibu orangtua mereka.

Padahal, pada usia emas pemerolehan bahasa inilah anak-anak harus mendapatkan atau diberi kesempatan memperoleh bahasa ibu dari ibu mereka.

Kehilangan kesempatan anak-anak memperoleh bahasa ibu justru terjadi di rumahnya sendiri, bahkan kehilangan itu terjadi pada saat anak-anak telah siap memperoleh bahasa.

Situasi kehilangan kesempatan itu bersamaan dengan pemberian kesempatan anak-anak memperoleh satu bahasa lain yang disediakan oleh para ibu.

Fakta menunjukkan bahwa di Sulawesi Utara dan di Maluku Utara, atau bahkan beberapa kota di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua, anak-anak untuk pertama kalinya telah memperoleh bahasa lingua-franca, yaitu bahasa Melayu Larantuka/Melayu Kupang, Melayu Manado, Melayu Ambon, dan Melayu Papua sebagai bahasa pertama, bahasa ibu.

Artinya, bahasa pertama yang diperoleh anak-anak bukan lagi bahasa suku bangsa, melainkan bahasa Melayu tempatan, yang merupakan lingua-franca pada wilayah-wilayah disebut di atas.

Hidupkan bahasa ibu di rumah sendiri

Perlu ditegaskan kembali, punah dan terancam punahnya sejumlah bahasa daerah di Indonesia, juga bahasa-bahasa etnik di negara lain sebagaimana yang dilaporkan Living Tongues terjadi di rumah dan di kampung sendiri.

Kepunahan itu karena anak-anak sebagai generasi pewaris bahasa ibu telah kehilangan kesempatan memperolehnya sejak usia mulai bisa berbicara/berbahasa.

Jadi, inilah saat pertama anak-anak kehilangan bahasa ibu dari ibu mereka. Dalam teori belajar bahasa, kehilangan kesempatan ini adalah kehilangan memperoleh (to acquire) bahasa ibu, bukan kehilangan mempelajari (to learn).

Satu hal yang sering kita lupakan bahwa pada saat memperoleh bahasa ibu, kita tidak pernah berpikir, bahkan tidak pernah belajar gramatika atau tata bahasa bahasa ibu kita.

Kita tidak berpikir tentang struktur kalimat, sebagaimana saat kita dewasa dan berkesempatan mempelajari satu bahasa lain, terutama bahasa asing yang kita dapatkan di sekolah.

Kita mendengarkan ibu kita berbicara, mengingat kata-katanya, dan kemudian mengucapkan kata-kata itu, dan lambat laun, seturut waktu, kita kemudian mahir berbahasa ibu.

Sekali lagi, ingat, kita tidak pernah berpikir tentang tata urut kata, tata urut kalimat, sebagaimana saat kita belajar satu bahasa lain di sekolah atau bahkan di kursus-kursus bahasa asing.

Jadi, mahir berbahasa ibu adalah soal adanya kesempatan memperoleh, dan kesempatan itu disediakan oleh ibu kita, sedangkan mahir berbahasa satu bahasa lain melalui sekolah atau kursus adalah kesempatan mempelajari.

Bahasa ibu diperoleh, sedangkan bahasa lain dipelajari saat kita ingin mahir satu bahasa lain.

Tetapi sekarang saat kita menghadapi kenyataan bahwa bahasa-bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu hampir semua penduduk pedesaan Indonesia makin tergerus, kita malah sibuk menyusun satu cara belajar bahasa ibu dengan membawanya ke sekolah. Padahal, kita tahu bahwa bahasa ibu tidak punah di sekolah, melainkan di rumah.

Kita yakin dengan membawa bahasa daerah ke sekolah, kita bisa menyelamatkan bahasa ibu dari ancaman kepunahan. Kita kemudian menambah mata pelajaran di sekolah dasar yang sudah kebanyakan mata pelajaran.

Padahal, secara umum se-Indonesia, pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal lebih banyak gagalnya ketimbang berhasil. Penyebabnya mulai dari tidak bagusnya bahan ajar, model belajar, dan guru yang tidak kompeten.

Fakta di beberapa daerah di Indonesia, sampai tamat sekolah dasar, anak-anak yang diberi pelajaran bahasa daerah tidak bisa mahir berbahasa daerah.

Daripada kita membuang-buang waktu, tenaga, pikiran, dan biaya untuk belajar bahasa daerah di sekolah dasar sebagai mata pelajaran muatan lokal, lebih baik kita rancang satu model belajar bahasa daerah yang berbasis komunitas di kampung bahasa tersebut digunakan.

Bahan ajar, model belajar, dan guru tentu saja berbeda dengan model belajar bahasa di sekolah. Kurikulumnya adalah mileu “percakapan nyata dan alamiah di rumah”, gurunya adalah ibu dan ayah (tentu yang sama bahasa ibu).

Bahan-bahan ajar adalah seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari di rumah. Praktik belajarnya adalah ibu dan ayah membiasakan anak-anak mengunakan bahasa ibu. Peserta belajarnya adalah anak-anak di rumah.

Terus, di mana peran pemerintah dalam sekolah berbasis komuntas?

Ada tiga hal yang mungkin disediakan pemerintah. Pertama, bahan ajar, berupa cerita-cerita, wacana cara membuat produk rumahan, cara berkebun, cara membuat perahu, cerita tentang panen, cara membuat rumah, dan lain-lain wacana dalam bahasa ibu/bahasa daerah.

Kedua, pendampingan kepada ibu sebagai model berbahasa. Pendampingan ini lebih bersifat memberi bekal tentang bagaimana ibu sebagai model berbahasa benar-benar menggunakan bahasa ibu di rumah dari bangun pagi hingga tidur.

Ketiga, pemberian insentif dan penghargaan kepada para ibu yang berhasil menjadikan anak-anak mereka mahir berbahasa ibu.

Belajar bahasa ibu berbasis komunitas masih berupa gagasan awal. Desainnya perlu dimatangkan sehingga benar-benar merupakan model belajar seperti home schooling atau sekolah alam.

Kita mungkin memulainya dengan membuat prototipe belajar bahasa ibu berbasis komunitas di beberapa kampung/desa/kelurahan. Atau bila desainnya sudah jadi, maka bisa dilakukan serentak di seluruh kampung.

Ada masa pendampingan, pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut. Belajar bahasa berbasis komunitas ini dapat menggunakan aplikasi atau platform yang tentu saja dapat digunakan oleh para ibu dan anak-anak mereka.

*Profesor Antropolinguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun

https://www.kompas.com/edu/read/2023/09/07/080000071/belajar-bahasa-ibu-berbasis-komunitas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke