Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Elite Illusion" Sekolah Favorit

KUTIPAN media massa beberapa waktu lalu, dipenuhi berita tentang berbagai temuan kecurangan yang dilakukan orangtua murid dalam PPDB.

Modus kecurangan yang sering dilakukan adalah dengan memalsukan kartu keluarga, manipulasi data kependudukan, atau menitipkan anak pada kartu keluarga orang lain. Tujuan para orangtua melakukan hal tersebut tentu agar anaknya diterima di sekolah favorit.

Kemendikbud sebenarnya tidak pernah memberi label sekolah favorit pada satuan pendidikan. Istilah tersebut muncul di kalangan dari masyarakat terhadap sekolah yang banyak peminatnya karena dianggap lebih bermutu baik dibandingkan dengan sekolah lainnya.

Di setiap daerah hampir pasti terdapat sekolah favorit. SMA 8 Jakarta, SMA 3 Yogyakarta, SMA 5 Bandung adalah contoh sekolah favorit yang menjadi idaman banyak orangtua murid.

Dengan sistem zonasi, sekolah favorit masih menjadi incaran orangtua, yang bahkan harus dicapai dengan melakukan berbagai macam kecurangan. Harapan orangtua adalah anaknya nantinya dapat menembus perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik, seperti UI, ITB, dan UGM.

Lalu apakah memang sekolah favorit dapat menjamin muridnya lolos PTN terbaik? Mungkin kita bisa belajar dari kasus di negara lain.

Di kota New York, Amerika Serikat, di daerah Manhattan tepatnya, ada sekolah menengah bernama Stuyvesant High School, atau lebih dikenal sebagai Stuy.

Sekolah ini adalah sekolah negeri paling favorit di kota Big Apple tersebut. Banyak lulusannya yang berhasil masuk Ivy League, yaitu kumpulan delapan universitas terbaik di Amerika, di antaranya Harvard, Yale, dan Princeton University.

Begitu terkenalnya sekolah ini sehingga mereka yang memberikan pidato pada saat wisuda sekolah banyak orang terkenal, seperti mantan Presiden AS Bill Clinton dan mantan Sekjen PBB Kofi Annan.

Yang membuat sekolah ini lebih luar biasa adalah dengan prestasinya yang bejibun tersebut, biaya untuk sekolah di sini nihil alias gratis, karena Stuy adalah sekolah negeri.

Tidak heran banyak kalangan menengah ke atas di New York yang berambisi memasukkan anaknya ke sekolah ini.

Setiap tahun pada November, sekitar 27.000 anak mengikuti ujian masuk Stuy dan kurang dari 3 persen yang diterima.

Di Inggris juga ada sekolah negeri mirip Stuy, yang dikenal dengan grammar school. Jika sekolah negeri biasa seleksinya menggunakan zonasi dan umur siswa, maka grammar school menggunakan tes masuk.

Contoh grammar school yang terkenal adalah Queen Elizabeth’s School dan Henrietta Barnet School yang berada di London. Lebih dari sepertiga siswa di sekolah tersebut diterima di Oxford dan Cambridge University (Oxbridge).

Menjadi pertanyaan adalah, apakah benar sekolah favorit seperti Stuy dan grammar school di Inggris membuat para siswanya diterima di kampus-kampus terbaik dunia sehingga membuat orangtua sangat berambisi menyekolahkan anaknya di sana?

Pertanyaan ini perlu dijawab dengan analisis data yang mendalam. Jika hanya melihat nilai ujian akhir dan jumlah lulusan yang diterima di Ivy League atau Oxbridge, maka jelas lulusan Stuy dan grammar school lebih baik daripada lulusan sekolah negeri lainnya.

Namun kesimpulan ini kurang meyakinkan, karena belum dapat menjawab apakah siswa yang diterima karena sistem belajar di sana yang bagus atau karena memang anaknya saja yang pintar.

Di dalam buku Everybody Lies karya Seth Davidowitz dijelaskan, seorang peneliti Amerika melakukan pengujian pada dua kelompok anak yang mengikuti tes masuk Stuy, dengan fokus pada anak-anak yang nilainya mendekati batas minimum lulus.

Kelompok pertama adalah anak-anak dengan nilai tes sedikit sekali di atas batas lulus dan melanjutkan sekolah di Stuy. Sedangkan kelompok kedua adalah anak-anak nilainya sedikit sekali di bawah batas lulus dan meneruskan sekolah di tempat lain.

Untuk memudahkan, saya buat perbandingan angka, misalnya, nilai batas lulus adalah 70, maka yang diuji adalah anak-anak dengan nilai 71 dan 69.

Lalu apakah hasil pengujiannya? Hanya dua kata, elite illusion. Ilusi seakan-akan sekolah elite akan membuat siswanya berhasil menembus Harvard, misalnya. Padahal kenyataannya nihil.

Efek dari sekolah favorit termasuk Stuyvesant High School tidak berpengaruh terhadap kemampuan anak untuk dapat melenggang ke kampus top dunia.

Anak-anak di dalam dua kelompok yang diuji tersebut sama-sama mendapat nilai SATs (ujian akhir) yang biasa saja dan diterima di universitas yang juga biasa saja.

Satu-satunya alasan anak-anak Stuy lebih berhasil dalam karier pendidikan adalah karena kemampuan mereka dari awal sudah lebih baik.

Stuy tidak menyebabkan seorang anak mendapatkan nilai SATs yang lebih tinggi atau pun diterima di universitas yang lebih baik.

Bagaimana dengan di Indonesia, apakah guru-guru dan sistem belajar di SMA favorit dapat membuat para muridnya berhasil lolos masuk PTN terbaik?

Sayangnya jawaban atas pertanyaan tersebut belum dapat diketahui karena saat ini belum ada penelitian serupa di atas yang dilakukan di Indonesia.

Namun demikian, keluhan tentang kualitas guru, fasilitas, dan sistem belajar di sekolah negeri kita termasuk sekolah favorit cukup sering didengar.

Selain itu, sudah menjadi rahasia umum anak-anak SMA negeri favorit banyak yang mengikuti bimbingan belajar dan berbagai kursus untuk mengisi kekurangan materi belajar di sekolah.

Stuy yang memiliki sumber daya dan kemampuan lebih banyak dari sekolah-sekolah di Indonesia saja tidak menyebabkan muridnya diterima di Ivy League, seharusnya dapat kita analogikan juga bahwa sekolah favorit di sini pun tidak menyebabkan anak-anak diterima di PTN terbaik.

Siswa SMA favorit lebih banyak diterima di PTN peringkat atas lebih disebabkan kemampuan kecerdasan para muridnya memang sudah sangat baik.

Para ahli pendidikan di sini sebaiknya mulai melakukan penelitian tentang elite illusion sekolah favorit di Indonesia.

Penelitian ini sangat penting karena sejalan dengan tujuan sistem zonasi yang saat ini diterapkan, yaitu pemerataan pendidikan.

Menteri Pendidikan Nadiem Makariem beberapa waktu lalu, menegaskan akan tetap menjalankan sistem zonasi meskipun kebijakan tersebut bukan kebijakannya.

Dengan komitmen Nadiem tersebut, seyogyanya sistem zonasi diperbaiki dan dimitigasi risiko kecurangannya.

Berbagai kecurangan yang dilakukan dan cukup mengobrak-abrik tujuan mulia sistem zonasi selama ini terutama disebabkan oleh keinginan siswa untuk bersekolah di sekolah favorit.

Dengan adanya penelitian yang komprehensif tentang elite illusion sekolah favorit, dan kemudian hasil penelitiannya disosialisasikan kepada masyarakat, diharapkan orangtua memahami bahwa bukan sekolah favorit yang menentukan keberhasilan siswanya.

Akhirnya, orangtua tidak lagi memaksakan anaknya untuk bersekolah di sekolah negeri favorit.

Hasil akhirnya diharapkan pemerataan mutu pendidikan yang menjadi tujuan utama sistem zonasi pun akan lebih mudah tercapai.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/08/31/132538771/elite-illusion-sekolah-favorit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke