Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menteri Nadiem Diminta Tanggung Jawab dan Beri Solusi soal PPDB Zonasi

KOMPAS.com - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim akhirnya buka suara soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi.

Nadiem menyebut kena getahnya akibat PPDB sistem zonasi yang diinisiasi Mendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendy yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).

Meski begitu, dia tetap mengapresiasi program itu dan akan terus dilanjutkan. Karena, PPDB sistem zonasi ini memperhatikan kebutuhan peserta didik untuk dapat bersekolah di dekat rumahnya.

Akibat pernyataan Nadiem terkait kena getahnya menuai reaksi dari pegiat pendidikan, salah satunya dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).

Koordinator Nasional (Kornas) JPPI Ubaid Matraji mengaku tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas kekisruhan program PPDB sistem zonasi ini.

Lalu, tidak ada yang menawarkan solusi berkeadilan bagaimana supaya tidak terjadi lagi kekisruhan ini di masa mendatang.

Semua, kata Ubaid, cuci tangan dan lempar tanggung jawab. Kepala-kepala daerah pun begitu, mereka tidak sadar dengan tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada seluruh anak secara berkualitas dan berkeadilan.

"Atas nama penertiban administratif, ada 4.791 anak di Jawa Barat dan 208 anak di Kota Bogor yang namanya dicoret tidak boleh ikut PPDB," ungkap dia dalam keterangannya kepada Kompas.com, Senin (31/7/2023).

Dia mempertanyakan, bagaimana nasib mereka yang dicoret tidak boleh ikut PPDB dan nasib mayoritas anak bangsa yang sudah berjibaku daftar PPDB, tapi mengalami kegagalan.

"Saya sebut mayoritas, karena sampai hari ini jumlah kursi yang disediakan di sekolah negeri terlalu minim dibanding total kebutuhan," jelas dia.

PPDB masalah sistemik yang dipicu oleh pemerintah pusat

Dia mengaku, PPDB bukan masalah teknis di lapangan atau di daerah, tapi ini adalah masalah sistemik yang dipicu oleh peraturan di level pusat.

Yaitu, ada di Permendikbud No. 1 tahun 2023 yang masih menggunakan "sistem seleksi" dan pemerintah tidak menyediakan bangku sekolah sejumlah kebutuhan.

"Mau pake sistem apapun, tapi daya tampung tak tersedia, kekacauan pasti akan terjadi," jelas dia.

Seharusnya, sebut dia, PPDB jangan berdasarkan prestasi. Jika dilakukan, maka kembali ke pola primitif yang akan mengamputasi hak anak untuk bisa bersekolah.

"Bagaimana nasib anak-anak yang tidak berprestasi? Padahal mereka adalah sama-sama anak Indonesia yang punya hak yang sama," tegas dia.

Mendikbud Nadiem harus bertanggung jawab terhadap sistem PPDB

Dia menegaskan, Mendikbud Nadiem harus bertanggung jawab penuh dan mengubah sistem PPDB sebagaimana dalam Permendikbud No. 1 tahun 2021.

Sistem baru itu, sambung dia, harus mampu menjamin semua anak dapat jatah bangku sekolah dan mewajibkan seluruh pemerintah daerah (Pemda) untuk bekerja sama dengan pihak swasta bila kursi di sekolah negeri tak mampu menampung kebutuhan.

Sistem zonasi harus diterapkan berdasarkan pemerataan kursi dan mutu sekolah. Sehingga, tidak ada lagi rebutan kursi karena semua kebagian.

"Begitu pula, tidak ada lagi penumpukan jumlah pendaftar, karena tidak ada mutu yang jomplang alias favoritisme," sebut dia.

Tak lupa, pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab dan kewajiban pemerintah, sebagaimana amanat UUD 1945 (pasal 31 ayat 2) dan UU sisdiknas (pasal 34 ayat 2).

"Sekolah bebas biaya ini harus diterapkan di negeri dan swasta, minimal hingga jenjang SMP atau 9 tahun, dan sampai SMA/SMK bagi daerah-daerah yang menerapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun," tukas dia.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/07/31/102537771/menteri-nadiem-diminta-tanggung-jawab-dan-beri-solusi-soal-ppdb-zonasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke