Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hedonisme Pesta Lulusan Sekolah

Beberapa pekan belakangan ini, merupakan moment bagi anak-anak maupun orangtua merayakan keberhasilan sekolah yang telah ditempuh dalam waktu yang tidak singkat.

Kondisi ini tentu masih akan berlangsung hingga beberapa waktu selanjutnya dan tampak semakin ramai.

Sejumlah tampilan konten di media sosial saat ini banyak dibanjiri dengan unggahan kemeriahan pentas seni maupun semarak puncak kelulusan yang biasa dikenal dengan wisuda.

Seolah kerinduan yang telah dinanti oleh sebagian masyarakat. Pandemi cukup lama menjauhkan aktivitas yang melibatkan interaksi banyak orang termasuk berbagai bentuk acara di sekolah.

Bila dirunut sejak pandemi terjadi dan berlangsung pembatasan jarak sosial, ini kali pertama untuk akhir semester di mana orang merasa aman tanpa dibayangi adanya penyebaran virus Covid-19.

Rasa haru, senang, bangga bisa diekspresikan secara langsung bersama teman dan keluarga.

Pelonggaran penggunaan masker seolah menandai kehidupan kembali normal sama seperti sebelum wabah menyapa kehidupan masyarakat.

Bentuk adaptasi kebiasaan baru telah ditinggalkan hingga menghadirkan euphoria yang cukup menyita perhatian banyak pihak.

Bukan hanya sekolah dan orangtua, beberapa layanan jasa seperti hotel, tour and travel, jasa catering, fotografi, dan beberapa bentuk jasa lainnya menjadi bagian esensial agar acara berlangsung lancar.

Kemasan dibingkai semenarik mungkin untuk memberi kesan istimewa bagi pesertanya.

Perubahan

Wisuda, istilah yang sudah cukup lama akrab di kehidupan masyarakat namun kini cukup menggelitik untuk mencoba diurai setelah sekian lama tenggelam dan kembali hadir.

Secara baku wisuda adalah peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat.

Bagi generasi 1990-an dan sebelumnya, wisuda akrab didengar saat prosesi keberhasilan bagi mahasiswa yang telah menyelesaikan studi di jenjang perguruan tinggi.

Sekarang perayaan itu telah bergeser. Tidak sekadar capaian di level pendidikan tinggi (universitas), namun secara ekstrem telah dikemas sebagai bentuk perayaan capaian bagi jenjang Taman Kanak-kanak (TK) yang akan memasuki Sekolah Dasar (SD).

Mencoba mengulik semarak wisuda, di beberapa studi menyajikan bahwa upacara yang dianggap sakral bagi sebagian orang ini, awal pertama kali dilakukan pada abad ke-12 di salah satu universitas di Eropa.

Tradisi ini biasanya berlaku saat penganugrahan gelar untuk universitas (gelar Associate, Bachelor, Master, maupun Doktor).

Hingga terdapat studi yang menjelaskan asal mula wisuda dalam Bahasa Jawa, yaitu wisudha yang memiliki arti pelantikan untuk orang yang telah menamatkan pendidikan (Amanda/ 22/10/22).

Selain itu, studi Carl M. Hulbert dan Harl R. Douglass pada tahun 1930-an menggambarkan upacara wisuda di negara bagian Wisconsin, U.S. dilaksanakan di arena yang luas dengan tampak tenang, berfokus pada doa dan pengharapan.

Seiring perkembangan teknologi, pesta perayaan ini berubah. Studi di Montana menggambarkan perayaan dengan melakukan pendakian dan perjalanan backpacking (Taylor, 2015).

Studi ini menunjukkan perayaan di US mencakup kelulusan pada jenjang sekolah menengah.

Gambaran ini mungkin berbeda juga dengan beberapa negara lainnya yang hanya digelar bagi kelulusan di tingkat universitas.

Menyelami lebih dalam secara histori, tentu praktik wisuda sangat tampak berubah saat ini. Terlebih praktik-praktik yang diadopsi di Indonesia.

Bila awalnya dijumpai sebagai bentuk prosesi yang dikemas secara formal, kini wisuda bisa dinikmati sebagai sebuah pesta.

Tidak hanya sebagai bentuk upacara penganugerahan gelar, penyerahan ijazah namun termasuk ajang perpisahan yang dikemas menjadi satu acara yang penuh dengan pertunjukkan dan kemewahan.

Bukan hanya acara untuk mahasiswa, namun bagi siswa sekolah di level yang lebih rendah, bahkan anak-anak di jenjang TK.

Penetrasi sistem

Mengurai moment wisuda menjadi kelingganan tersendiri. Secara umum bahwa perayaan wisuda ini memiliki diferensiasi di masing-masing negara.

Penggunaan pakaian, bentuk toga, lokasi perayaan hingga pengemasannya tentu mempunyai keunikan.

Di setiap tempat, mekanisme dan prosedur dari tradisi kelulusan akademik ini disesuaikan dengan karakteristik mereka.

Melekatnya tradisi wisuda dalam sistem pendidikan di berbagai jenjang saat ini menghadirkan kompleksitas bagi sistem.

Sebuah bentuk kebanggaan bagi sebagian orang, namun tidak luput dari adanya ketimpangan bagi sebagian orang lainnya. Biaya yang diperlukan tentu menjadi bagian beban tambahan bagi orangtua.

Ketidaksepakatan adanya wisuda di luar jenjang univeritas dan beberapa protes yang muncul terkait permintaan penghapusan maupun tuntutan aturannya, tentu menggairahkan sistem pendidikan untuk mengurai kekusutan yang ada.

Sistem pendidikan pada prinsipnya bekerja dengan bahasa dasar “beradab/tidak beradab” atau “benar/salah”.

Secara mendasar pendidikan sebagai sistem yang bekerja agar manusia dapat menghargai manusia dan makluk hidup lainnya.

Sistem pendidikan bertujuan memperoleh dan menghasilkan pengetahuan baru melalui simbol kebenaran (Luhmann, 1989).

Wisuda yang kini lebih identik dengan hedonisme melalui narasi pesta, kemeriahan, kegembiraan, kesan istimewa, tidak luput dari sistem fungsi ekonomi yang identik dengan untung/rugi, transaksi/non-transaksi.

Orangtua dihadapkan untuk mengalokasikan pendapatan untuk perayaan pesta. Mereka wajib menyisihkan anggaran di luar alokasi biaya utama pendidikan anak-anaknya. Artinya sistem pendidikan kini berinterpenetrasi dengan sistem lainnya.

Dalam upaya mencapai impian membangun sumber daya manusia yang beradab, terdapat penekanan dari adanya faktor luar lainnya. Penetrasi satu sistem dipengaruhi oleh penetrasi sistem lainnya.

Berpijak pada pemikiran Luhmann (1995), setiap subsistem sosial bekerja untuk mereduksi kompleksitas yang ada di masyarakat.

Setiap sistem fungsional memiliki kode dan programnya sendiri untuk menyelesaikan persoalannya.

Dalam hal ini persoalan wisuda yang merupakan bagian dari sistem pendidikan, alangkah ideal ketika mekanisme operasinya diselaraskan dengan kode sistem pendidikan.

Tentu paradoks, ketika pemerintah menggerakkan pemulihan ekonomi pascapandemi melalui berbagai terobosan, namun di sisi lain berbenturan dengan idealisme kepentingan lainnya.

Hedonisme yang lahir dari puncak kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri akan mendukung kesejahteraan sektor lainnya.

Berbagai layanan jasa yang membingkai kemeriahan pesta sangat mendukung peningkatan sektor ekonomi.

Di sisi lain polemik kembali berulang dan akan menghadirkan kompleksitas berikutnya. Cara mengurai keruwetan sistem akan melahirkan keruwetan baru bagi sistem.

*Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Mahasiswa Program Doktoral Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM

https://www.kompas.com/edu/read/2023/06/20/163000871/hedonisme-pesta-lulusan-sekolah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke