Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencari Sumber Keteladanan Mencegah Anak Tawuran

Kemudian, untuk menghindari insiden yang tidak diinginkan, masyarakat dihimbau agar tidak melakukan aktivitas Sahur on The Road (Kompas.com, 20/03/2023)

Membaca berita tersebut memberikan ingatan kepada penulis terkait pesan salah satu grup whatsapp. Di grup itu, kami mendapat kiriman foto dari salah seorang guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

Foto tersebut merupakan halaman depan dari tayangan power point yang akan dipaparkannya pada kegiatan ‘teacher in house training’ di salah satu sekolah menengah pertama.

Tema yang tertulis di foto itu sangat menarik dan apik: “Strategi Pembelajaran menghadapi Degradasi Moral Peserta Didik.”

Sekolah tersebut sungguh sangat cekatan. Jeli melihat keadaan. Meskipun acara tersebut dilaksanakan jauh sebelum hadirnya Bulan Ramadhan. Dan, meskipun sebenarnya beberapa laporan terkait keberadaan anak atau siswa dalam ketegori aman-aman saja.

Rapor Pendidikan yang telah dikeluarkan Kemendikbud Ristek atas hasil Asesmen Nasional untuk Iklim Keamanan Sekolah berkategori aman baik untuk tingkat SMP/sederajat maupun SMA/sederajat.

Kemendikbud Ristek mendefinisikan Iklim Keamanan Sekolah sebagai tingkat rasa aman dan kenyamanan murid dari hal rasa aman di sekolah, perundungan, hukuman fisik, pelecehan seksual, dan aktivitas narkoba di lingkungan sekolah. Tingkatannya dibagi menjadi tiga, yakni aman, waspada, dan rawan.

Selain itu, salah satu kesimpulan dari publikasi Indeks Kualitas Keluarga (IKK) tahun 2020 yang dilakukan Kemen PPPA dengan Badan Pusat Statistik menyatakan seluruh nilai IKK per provinsi berkategori kualitas keluarga yang cukup responsif gender dan hak anak. Aman juga.

Memang, kompleksitas permasalahan pendidikan tidak cukup dijadikan resume yang ditulis secara universal. Termasuk intervensi kebijakannya, tidak cukup hanya mengandalkan kesimpulan-kesimpulan yang juga masih universal. Harus ada rekaman dan tindak lanjut yang spesifik.

Kita yakin rasa khawatir akan fenomena degradasi moral anak telah dirasakan oleh hampir semua orangtua, termasuk sekolah dan guru.

Apalagi di era disrupsi yang semakin menguatkan eksistensinya bahwa benar saja tidak cukup. Harus ada daya topang yang kuat, yaitu dukungan. Semakin banyak dukungan, semakin kuat kecenderungan untuk menjadi ‘benar.’

Ditambah lagi dengan sikap alamiah peserta didik yang notabene masih berkategori anak atau remaja. Tanpa pikir panjang mereka akan mudah terbawa arus untuk ikut-ikutan.

Tidak cukup sampai di sini. Derasnya arus informasi yang datang silih berganti terus hadir di gadget yang selalu mereka genggam.

Oleh karena itu, tanpa harus menunggu lama sesuatu yang sedang trendi akan dengan mudah dan cepat menyusup ke perilaku keseharian mereka. Lagi-lagi, terlepas apakah itu benar atau salah.

Di antara bentuk degradasi moral yang paling mencemaskan tersebut adalah masih berseminya tragedi tawuran. Tidak hanya terjadi di kota-kota besar.

Tragedi tawuran yang melibatkan anak juga terjadi di berbagai daerah lainnya. Mirisnya lagi, di antara kejadian tawuran ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Penangkapan sekaligus pembinaan sudah diberikan kepada mereka yang terlibat. Namun tetap saja kisah tawuran tidak pernah padam. Bahkan semakin mencuat dan meresahkan.

Akhirnya, mungkinkah beragam bentuk degradasi moral yang terjadi pada generasi dini — di antaranya tawuran itu — hanyalah definisi kita berdasarkan sudut pandang sebagai orangtua atau gurunya semata?

Sementara mereka sendiri memandang semua itu hanyalah sebagai lifestyle dan hiburan yang harus dinikmati?

Jika demikian kondisinya, maka melarang atau menyalahkan mereka yang mempunyai sudut pandang berbeda sama artinya menabuh genderang perang.

Maka sungguh sangat benar apa yang dilakukan sekolah di atas tersebut. Sebelum menjatuhkan stigma, memang ada baiknya dimulai dengan menyelami lebih dalam tentang asal usul selera mereka.

Agar kelak solusi yang didapatkan tidak hanya sekadar ‘memadamkan api’, namun yang lebih penting diupayakan adalah menghadirkan upaya pencegahan.

Beban belajar

Publik masih ingat terkait pro - kontra hadirnya Pekerjaan Rumah (PR) yang diberikan sekolah kepada siswa kembali mencuat setelah hadirnya rencana kebijakan Pemkot Surabaya untuk menghapusnya.

PR di satu sisi memang dipandang sebagai penambahan beban bagi siswa. Akibat dari kompetisi dalam belajar yang salah kaprah. Atas nama prestasi kerap siswa selalu dijadikan objek untuk meningkatkan prestise sekolah maupun daerah.

Setelah lelah seharian di sekolah, di rumah siswa kembali terjerembab dengan beragam tambahan pelajaran dari sekolah.

Kondisi semakin kritis ketika pelajaran tersebut sama sekali tidak diminatinya. Bahkan diantaranya juga tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Ketika anak-anak ini terus memandang pelajaran hanya sebuah beban dan paksaan. Bisa jadi, dari sinilah muncul sikap-sikap yang tidak kita kehendaki itu hadir. Sebuah pelampiasan atas kejenuhan yang menderanya.

Termasuk juga, saat ruang untuk menumbuhkan eksistensi itu hanya diberikan pada prestasi dan mata pelajaran tertentu. Dapat dipastikan, akan hadir individu atau kelompok siswa yang merasa ‘tersingkirkan.’

Bak air bah, akhirnya mereka menerobos tembok pembatas yang menyekatkan kehidupan mereka selama ini.

Tujuannya tidak lain adalah untuk menunjukkan eksistensi diri dengan caranya tersendiri. Kita akhirnya tergopoh-gopoh kebingungan karena tidak sanggup membendungnya.

Perlu diagnosis yang tepat. Barangkali sebelum kita berdebat habis tentang plus - minus PR bagi siswa.

Ada baiknya secara bersama, yakni pemerintah, orangtua, dan guru terlebih dahulu menyelesaikan ‘PR’ besar ini. PR tentang orientasi pembelajaran pada sistem pendidikan bangsa. Apa tujuannya? Kemana arahnya?

Menjadi role model

Dengan kondisi yang demikian, hadirnya realitas yang bisa menumbuhkan sikap positif pada mereka harus terus ditingkatkan.

Di sekolah, misalnya, jangan sampai nasihat-nasihat bijak hanya hadir di ruang kelas. Sementara siswa menyaksikan berbagai peristiwa bobroknya moralitas terus hadir silih berganti. Datang dari orang-orang yang seharusnya menjadi panutan mereka.

Mereka kita ajarkan untuk senantiasa bersikap sopan. Sementara itu, tanpa berdosa kita masih sering mendendangkan ujaran kebencian.

Mereka kita ajarkan untuk ramah dalam bertutur kata. Sementara itu, di layar kaca dan ponselnya berseliweran tayangan para politisi yang saling cela.

Mereka kita ajarkan untuk menguatkan integritas diri. Sementara itu, kabar tertangkapnya pejabat yang korupsi terus menetas tidak pernah berhenti.

Mereka kita ajarkan untuk saling berkasih sayang. Sementara itu, berbagai kasus pembunuhan selalu hadir dan seakan rasa kemanusian sudah hilang.

Banyak hal yang diajarkan. Sayangnya, semua itu minus keteladanan.

Jadi, bagaimana pembelajaran yang terbaik untuk melenyapkan degradasi moral seperti mencegah hadirnya aksi tawuran itu?

Saatnya kita berpegangan tangan untuk segera menghadirkan keteladanan. Tanpa keteladanan, pembelajaran dan nasihat yang diberikan hanya indah sebatas kata. Kenyataan yang hadir justru sangat mengkhawatirkan.

Lantas, masihkah kita berharap anak-anak itu akan baik-baik saja, sementara sumber-sumber keteladan sedang tidak baik-baik saja?

https://www.kompas.com/edu/read/2023/03/28/063000871/mencari-sumber-keteladanan-mencegah-anak-tawuran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke