Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Bulan Bahasa dan Sastra, Mengapa Dirayakan Setiap Oktober?

KOMPAS.com - Bulan Oktober juga dikenal sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia. Setiap tahun, momen ini diperingati dengan berbagai acara dengan tema bahasa dan sastra yang tujuannya memaksimalkan penggunaan bahasa Indonesia.

Perayaan Bulan Bahasa dan Sastra dilakukan sejak 1980. Tetapi, mengapa Bulan Bahasa dan Sastra dirayakan setiap bulan Oktober? Ternyata, dari sejarah Bulan Bahasa dan Sastra, ada kaitannya dengan Sejarah Sumpah Pemuda.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), sejarah mencatat pada tanggal 28 Oktober 1928 dikumandangkan Sumpah Pemuda dalam keputusan Kongres Pemuda II, di Jakarta.

Dalam momen Sumpah Pemuda, ada kesepakatan antar pemuda dari seluruh suku dan ras di Indonesia bahwa bahasa resmi yang digunakan masyarakat yakni Bahasa Indonesia seperti yang tertulis dalam salah satu isi Sumpah Pemuda:

"Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia"

Karena itulah, cikal bakal diperingatinya bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Namun sebelum bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda, bangsa Indonesia berkomunikasi menggunakan bahasa daerah masing-masing.

Ada juga bahasa yang berbasis bahasa Melayu, serta bahasa Belanda atau Jepang sebagai pengaruh dari imperialisme bangsa Belanda dan Jepang.

Setelah Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia mulai digunakan untuk berkomunikasi, baik secara verbal maupun literal.

Penggunaan bahasa Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ejaan bahasa Indonesia. Seperti apa perkembangan ejaan bahasa Indonesia? Berikut informasinya dilansir dari laman Direktorat SMP Kemendikbud Ristek.

Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia

Ejaan Van Ophuisjen (1901 – 1947)

Ejaan Van Ophuisjen dikembangkan oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Charles Adriaan Van Ophuisjen, bersama Nawawi Soetan Ma’moer dan Moh. Taib Sultan Ibrahim.

Van Ophuisjen mengembangkan transliterasi latin dari bahasa Melayu yang beraksara Arab, yang kemudian hasil transliterasi ini menjadi ejaan awal bahasa Indonesia. Ciri ejaan Van Ophuisjen adalah pengejaan bunyi huruf U dengan huruf “oe” dan bunyi sentak dengan tanda hamzah “ ‘ “

Ejaan Soewandi (1947 – 1972)

Ejaan Soewandi adalah ejaan bahasa Indonesia yang digunakan setelah proklamasi kemerdekaan, yakni pada 19 Maret 1947.

Ejaan ini juga disebut ejaan republik, karena digunakan untuk menunjukkan semangat kemerdekaan. Ejaan Soewandi menyempurnakan ejaan Van Ophuisjen dengan beberapa ketentuan baru, seperti penulisan huruf U menggantikan “oe”, penulisan bunyi sentak dengan huruf k (tak, pak), dan penulisan kata depan dengan cara disambung.

Pada masa ejaan Soewandi inilah, Kamus Bahasa Indonesia diterbitkan untuk pertama kalinya dengan memuat 23,000 kata.

Ejaan Yang Disempurnakan (1972)

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) diresmikan pada 16 Agustus 1972, dengan Putusan Presiden no. 57 tahun 1972. Ejaan Yang Disempurnakan adalah ejaan bahasa Indonesia yang paling lama digunakan, yakni sekitar 30 tahun. Nama EYD kemudian kembali digunakan setelah dimutakhirkan menjadi EYD edisi V pada tahun 2022.

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) (2009 – 2022)

Ejaan yang terakhir adalah ejaan bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang, yakni Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Ejaan PUEBI didasarkan pada Permendiknas no. 46 tahun 2009, untuk menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. PUEBI kemudian dimutakhirkan pada 18 Agustus 2022 dan berganti nama menjadi Ejaan yang Disempurnakan (EYD) edisi V.

Jumlah Bahasa yang ada di Indonesia

Menurut Badan Pengembangan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah bahasa di Indonesia sebanyak 718 bahasa daerah dari 2.560 daerah pengamatan dan 707 di antaranya masih aktif dituturkan.

Papua Nugini, menjadi wilayah di Indonesia yang memiliki jumlah bahasa daerah terbanyak sebanyak 428 bahasa daerah.

Paling sedikit, wilayah Jawa dan Bali yang hanya memiliki 10 bahasa daerah.

Sementara dari data UNESCO, berdasarkan status daya hidup bahasa baru mencatat terdapat 143 bahasa daerah di Indonesia.

Selain memiliki bahasa daerah yang banyak, bahasa asing juga memberikan pengaruh sebagai dampak dari globalisasi.

Karenanya, semangat dalam melestarikan bahasa dan sastra Indonesia perlu didukung oleh kita semua sebagai bangsa Indonesia. Salah satunya dengan merayakan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/10/13/140000971/sejarah-bulan-bahasa-dan-sastra-mengapa-dirayakan-setiap-oktober-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke