Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Model Pendidikan bagi Penghayat Kepercayaan di Era Merdeka Belajar

Kini para penganut kepecercayaan bisa mencantumkan “kepercayaan” pada kolom agama di KTP dan KK. Putusan MK itu membantu menegakkan martabat dan menempatkan penganut kepercayaan sama di hadapan hukum.

Sejalan dengan keputusan MK, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Nomor 27 tahun 2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan.

Dalam peraturan tersebut diatur tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada peserta didik penghayat kepercayaan. Anak didik penghayat kepercayaan berhak menerima pendidikan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya.

Kemendikbud mencatat, lebih dari 12 juta penghayat kepercayaan di Indonesia. Jumlah itu terbagi dua, penghayat murni yaitu mereka yang tidak meyakini satu agama pun yang diakui pemerintah. Ada pula penghayat beragama, yaitu pemeluk agama resmi tetapi juga mengaku mengikuti aliran kepercayaan tertentu.

Peserta didik penghayat kepercayaan adalah peserta didik pada pendidikan formal jenjang pendidikan usia dini (PAUD), pendidikan dasar (SD), dan menengah (SMP dan SMA sederajat), dan pendidikan kesetaraan yang menyatakan dirinya secara tertulis sebagai penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha dan mengajukan permohonan kepada kepala sekolah untuk mengikuti mata pelajaran Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Surat pernyataan itu wajib diketahui dan disetujui orang tua peserta didik serta ditandatangani di atas meterai. Peserta didik yang dilayani adalah peserta didik penghayat kepercayaan yang organisasinya terdaftar di pemerintah pusat dan/atau daerah dan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan prinsip empat konsensus dasar, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 menyatakan bahwa Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (MLKI) menyusun kerangka kurikulum untuk selanjutnya direkomendasikan untuk ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Sebagaimana yang diatur dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, penyuluh pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa wajib memiliki kualifikasi akademik sekurang kurangnya sarjana (S1) atau Diploma 4 (D4) dalam bidang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan/atau memiliki sertifikat pendidik dalam pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diterbitkan lembaga sertifikasi profesi bidang kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan mendapatkan tugas dari Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (MLKI).

Penyuluh kepercayaan juga harus memiliki kompetensi sebagaimana yang dinyatakan pada Standar Kualifikasi Kerja Penyuluh Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tentu tidak mudah mengingat hingga saat ini belum ada perguruan tinggi yang meluluskan sarjana bidang Kepercayaan Kepada Tuhan YME.

Era Merdeka Belajar

Dalam uji coba Kurikulum Merdeka atau Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM), Kemendikbudristek merancang Kurikulum Merdeka yang muaranya untuk menghasilkan sosok pelajar Pancasila yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, berkhebinekaan global, bergotong-royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Dalam IKM peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Guru juga diharapkan mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik.

Sekolah pun memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.

IKM bertentukan pedoman implementasi layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dari pendoman itu, yang tampak adalah etatisme negara masih sangat kuat mewarnai ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pedoman tersebut.

Hal itu misalnya tampak pada hak sipil anak penganut kepercayaan yang tidak secara otomatis mendapat layanan pendidikan, terbatasnya keterlibatan komunitas penghayat kepercayaan yang “diakui”, ketatnya atau kurang luasnya ruang lingkup pendidikan kepercayaan yang berpotensi mereduksi kekayaan luhur budaya adat/komunitas kepercayaan, model penilaian hasil belajar yang sangat kaku, kompetensi pendidik dan sebagainya.

Mestinya pendidikan kepercayaan tidak terjebak dengan model kurikulum pendidikan agama yang jiwanya formalistik belaka. Murid ditimbuni segudang materi keagamaan yang membosankan, yang harus dihafal dan dinilai bersuasana kepawangan.

Banyak hal yang sama sekali tidak berguna, dan justru berdampak berbahaya bagi si anak, pendidikan agama sering dirasa sebagai sesuatu yang membebani anak, dan tiada kabar gembira.

Praktik pendidikan kepercayaan jangan dilakukan secara terkotak-kotak menurut kepercayaan masing-masing yang justru dapat melukai pribadi anak. Anak, terutama usia PAUD dan SD, belum paham sungguh-sungguh tentang perbedaan agama/kepercayaan.

Yang penting baginya adalah bisa bermain dan bersenang-senang dengan semua teman tanpa memandang agama/kepercayaan teman.

Sikap baik, inklusif-terbuka, dan keceriaan yang secara alamiah yang dimiliki anak-anak jangan sampai terampas oleh kotak pembelajaran menurut agama/kepercayaan masing-masing yang bersifat eksklusif dan indoktrinatif.

Sekolah jangan lagi meneruskan pemisahan anak berdasarkan agama/kepercayaan yang dulu atau bahkan hingga kini terjadi. Karena hal itu merupakan embrio diskriminasi bangsa dan memiliki andil dalam perpecahan bangsa.

Beberapa tindakan eksklusif yang di lakukan lembaga pendidikan (pemaksaan pemakaian jilbab di salah satu SMA di DIY, misalnya) jangan terulang lagi di masa depan.

Pendidikan kepercayaan hendaknya dilakukan dengan metode naratif, eksperiensial, anak diajak untuk bercerita mengungkapkan pengalaman imannya, mendialogkan iman itu dengan teman yang lain, dan membangun niat bersama untuk makin merasakan segala kebaikan dan berkat Yang Maha Esa.

Jika agama itu eksklusif (keluar, mengeluarkan dari wilayah terpagar), maka iman bersifat inklusif, merangkul masuk, mempersatukan, dan mengajak rukun.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/10/07/164847971/model-pendidikan-bagi-penghayat-kepercayaan-di-era-merdeka-belajar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke