Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menggagas Sekolah Dasar Komunitas bagi Anak Jalanan

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim menyebutkan, program itu bertujuan memberikan kesempatan kepada anak-anak usia sekolah atau putus sekolah, untuk kembali mendapatkan pendidikan.

Menurut dia, upaya untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak usia sekolah atau putus sekolah, untuk kembali mendapatkan pendidikan adalah mereka harus kembali ke sekolah, salah satunya melalui program kursus dan pelatihan.

Sekolah komunitas

Gagasan Kemendikbudristek itu pernah dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta beberapa tahun yang lalu dengan meluncurkan sebuah pendidikan alternatif yang diberi nama Community Colegge (CC) atau Sekolah Komunitas yang bertempat di SMK 4 Yogyakarta.

Program CC merupakan konsep baru dalam pendidikan yang menggabungkan pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah. Sekolah Komunitas (CC) ini menampung siswa minimal lulusan SLTP, yang tidak mampu melanjutkan sekolah atau ingin segera mandiri dan berpenghasilan.

Sekolah Komunitas itu berisi program ketrampilan siap kerja. Sekolah Komunitas tersebut terbuka untuk masyarakat umum, khususnya dari kelompok masyarakat miskin perkotaan dan tidak dibatasi usia. Kecuali ketrampilan desain grafis dan animasi yang mensyaratkan peserta harus lulus SLTA.

Jenis ketrampilan yang ditawarkan antara lain kepariwisataan, tata boga, tata busana, dan jasa kecantikan, metode pendidikan lebih dititikberatkan pada praktik langsung.

Langkah positif Pemerintah Kota Yogyakarta itu sangat bermanfaat terlebih di tengah tingginya jumlah penggangguran dan mahalnya beaya pendidikan di Tanah Air. Namun tampaknya Sekolah Komunitas di Yogyakarta itu tidak berlanjut dengan berbagai alasan.

Ruang bagi anak jalanan

Tetapi niat baik Pemerintah Kota Yogyakarta yang dulu pernah dilakukan itu perlu dihidupkan kembali. Lebih tepat lagi jika pemerintah kabupaten/kota lainnya di Indonesia mau membuka sekolah komunitas serupa bahkan memperluasnya dengan membuka sekolah komunitas setingkat sekolah dasar.

Pembukaan SD komunitas ini hendaknya diperuntukkan bagi para anak jalanan dan anak terlantar yang jumlahnya masih cukup banyak di setiap kota atau kabupaten. Anak jalan ini memang tidak cukup mudah diselesaikan dengan sekedar memberinya beasiswa dan mendorong mereka masuk ke sekolah formal.

SD komunitas merupakan alternatif bagi terjamin pendidikan anak-anak jalanan-terlantar yang berada di jalan-jalan protokol kabupaten dan kota di Indonesia. Jika SD komunitas itu dapat dibuka tentu menjadi nilai tambah bagi kekayaan budaya bangsa kita yang mau “nguwongke” anak-anak terlantar ini.

Sekolah berkonteks lokal

SD komunitas itu meski dikreasi sebagai sekolah nonformal dan dikembangkan dengan model pendidikan berkonteks lokal mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki anak-anak jalanan-terlantar. Hal itu juga sejalan dengan kebijakan Kurikulum Merdeka yang memberi kebebasan sekolah untuk mengembangkan potensi lokal.

Sekolah komunitas jangan memaksakan diri untuk menerapkan standar nasional, apalagi kalau sampai menerapkan ujian nasional, karena hal itu berarti penyeragaman dan kontraproduktif untuk pengembangan diri anak dan maksud penyelenggaraan sekolah komunitas.

Pendidikan berkonteks lokal seperti apa yang cocok dan memungkinkan untuk dikembangkan di SD komunitas?

Ada beberapa hal yang bisa diterapkan. Pertama, menyangkut metode belajar. Metode yang cocok untuk diterapkan adalah pembelajaran aktif, yang berciri anak aktif (active learning), pembelajaran berpusat pada anak (child-centered learning), dan pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning).

Dalam pembelajaran aktif dimungkinkan untuk diterapkan multigrade teaching, artinya pembelajaran yang hanya memakai satu guru untuk beberapa jenjang kelas. Misalnya kelas 1 dan 2 hanya diajar oleh satu orang guru. Hal itu bisa dilakukan jika guru mampu mengaktifkan siswa sehingga dirinya hanya berfungsi sebagai fasilitator, anaklah yang akan membangun pengetahuannya sendiri melalui kegiatan belajar-mengajar yang diciptakan guru.

Ide ini jika bisa diterapkan akan membantu pemerintah kabupaten/kota menghemat biaya operasional sekolah, khususnya dalam hal gaji guru.

Joyfull learning, sangat dibutuhkan dalam situasi anak-anak jalanan-terlantar yang mengalami berbagai penderitaan. Mereka telah teramat “kenyang” dengan segala bentuk penderitaan materiil, moril, mental, intelektual, afeksi, dan sebagainya.

Guru harus didorong untuk berupaya agar para murid merasa bahwa sekolahnya sungguh merupakan tempat dan waktu yang menggembirakan, “firdaus kecil” atau “oase sejuk” di tengah kegersangan hidupnya, tempat ia dipahami, dihargai, diajak gembira.

Kedua, menyangkut materi pelajaran dan sumber belajar. Dalam Kurikulum Merdeka memang materi pelajaran tidak menjadi tujuan utama, materi pelajaran hanyalah jalan untuk membawa anak mencapai kompetensi tertentu yang telah ditetapkan oleh kurikulum melalui capaian pembelajaran dan tujuan pembelajaran.

Untuk itu di lapangan guru/fasilitator harus didorong agar mau menjabarkan indikator-indikator pencapaian hasil belajar dengan menyiapkan kegiatan-kegiatan yang kontekstual dengan kebutuhan lokal.

Pemerintah hendaknya tidak terlalu mendikte guru/fasilitator dengan keharusan memenuhi standar nasional. Yang penting siswa melalui kegiatan belajar bisa mencapai kompetensi yang dibutuhkannya dalam konteks lokal.

Pelajaran-pelajaran yang bersifat lokal dan mengakar pada kebudayaan setempat harus dikembangkan. Misalnya dalam pelajaran Pengetahuan Sosial, bisa saja guru mengeksplorasi kebudayaan lokal dan tokoh-tokoh pejuang lokal.

Lingkungan alam, sosial, dan budaya juga merupakan sumber belajar yang tidak pernah habis.

Ketiga, menyangkut alat peraga dan sarana mengajar. Sekolah komunitas harus kreatif memanfaatkan barang bekas untuk alat peraga atau benda-benda kreatif lainnya. Anak-anak jalanan-terlantar harus disadarkan bahwa mereka belum mampu lagi membeli alat peraga buatan pabrik atau industri.

Untuk itu mereka, dengan bantuan guru, membuat sendiri alat-alat peraga yang mereka butuhkan dari barang bekas. Di tengah keterbatasan ekonomi anak-anak harus diajak untuk mencari jalan keluar untuk mendapatkan alat peraga.

Kebutuhan akan buku pelajaran juga harus disikapi dengan kreatif. Anak-anak harus didorong membaca apapun yang masih tersedia. Entah itu buku cerita, komik, surat kabar, dan majalah, yang penting dalam situasi keterbatasan ini minat baca anak harus terus ditumbuhkan.

Karena bacaan apa pun (tentu yang bernilai positif) merupakan sumber pengetahuan bagi anak-anak jalanan yang kelak akan menjadi generasi penerus Indonesia dan terutama menjadi pejuang pembebasan diri dan keluarganya dari kemiskinan.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/08/27/160340771/menggagas-sekolah-dasar-komunitas-bagi-anak-jalanan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke