Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenaikan Tarif Ojek Online, Ekonom Unair: Pengaruhi Daya Beli dan Inflasi

KOMPAS.com - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunda pemberlakuan tarif baru ojek online, dari seharusnya 15 Agustus 2022 menjadi 30 Agustus 2022.

Perpanjangan waktu tersebut direspons baik oleh Ekonom Universitas Airlangga (Unair), Rumayya Batubara.

Menurut dia, penundaan pemberlakukan ini bagus walaupun tambahannya hanya 15 hari. Sehingga ada waktu lebih panjang, untuk menghitung lagi dampaknya, dan apakah ada solusi yang lebih baik.

"Jika memang harus naik, maka berapa besaran tarif yang sesuai. Jadi perpanjangan waktu ini bisa digunakan untuk mencari masukan dan tambahan data agar bisa mengambil kebijakan publik lebih tepat, kami sangat dukung untuk itu," ucap dia dalam keterangannya, Kamis (18/8/2022).

Kenaikan tarif ojek online punya dampak negatif

Rumayya mengatakan, kenaikan tarif sebesar itu memang akan memiliki banyak dampak negatif.

Pertama dari sisi konsumen. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Research Institute of Socio- Economic Development (RISED), lebih dari 50 persen konsumen pengguna ojek online adalah masyarakat menengah bawah.

Dan konsumen memilih menggunakan ojek online dikarenakan harganya yang terjangkau.

Sehingga, ketika kenaikan tarif ojek online yang terlalu tinggi, menjadikan ojol tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar konsumen.

Padahal layanan ojek online kini memegang peranan penting dalam mendukung kegiatan ekonomi.

Akibatnya, konsumen akan memilih opsi transportasi lain, salah satunya kendaran pribadi, yang akan menimbulkan masalah lain seperti kemacetan lalu lintas.

"Ketika tarif ojek online naik tahun 2019, sebanyak 75 persen konsumen menolak kenaikan harga ojek online. Persentase penolakan tergolong tinggi, meski kenaikan tarif pada saat itu tidak sebesar di tahun 2022 ini. Tahun ini kami memang belum melakukan studi terbaru, tapi kemungkinan besar akan ada lebih dari 75 persen konsumen yang menolak," ucap dia.

Dampak kedua, yaitu dari sisi driver ojek online. Rumayya mengatakan, niat baik pemerintah untuk mensejahterakan driver ojek online melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi.

Namun menurutnya, kenaikan tarif ojek online tidak selalu berhubungan langsung dengan kesejahteraan driver.

Dia mencontohkan ketika konsumen memilih moda transportasi lain saat tarif ojek online tinggi, maka potensi pendapatan driver akan menurun.

Hal itu dikarenakan karakter pengguna ojek online yang sangat sensitif terhadap harga. Sehingga ketika ada perubahan harga, mereka akan mencari alternatif moda transportasi lain, atau bahkan mengurangi mobilitasnya.

"Misalkan jika sebelumnya bisa mendapatkan 10 penumpang, dengan adanya kenaikan ini penumpangnya jadi turun jadi 7 atau bahkan hanya 5. Perlu diingat, jumlah driver tetap sama, tapi penumpang berkurang," ucap dia.

Lalu dampak yang ketiga, yaitu dari sisi ekonomi. Ketika konsumen memilih menggunakan kendaraan pribadi akan meningkatkan kemacetan di kota-kota besar dan biaya pemerintah untuk BBM menjadi lebih mahal.

Dampak lainnya, terjadi peningkatan biaya transportasi untuk mengirimkan barang.

"Sektor lain akan terpukul, ada dampak turunan, karena transportasi ini menghubungkan antar sektor, bukan hanya mengantarkan orang, tapi juga barang," tutur dia.

Secara keseluruhan, kata Rumayya, kenaikan tarif ojek online yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat dan turut menaikkan inflasi.

Terlebih saat ini pemerintah tengah berupaya untuk menekan inflasi melalui program subsidi di berbagai sektor.

"Kita lihat saat ini inflasi sedang tinggi. Bahkan untuk inflasi pangan tertinggi sejak tahun 2015. Jika inflasi tinggi, maka daya beli konsumen tergerus," pungkas dia.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/08/18/193814471/kenaikan-tarif-ojek-online-ekonom-unair-pengaruhi-daya-beli-dan-inflasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke