Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tantangan Kembali ke Kampus

Beruntung?

Ketika di awal pandemi 2020, banyak mahasiswa yang mengeluh dan ingin cepat-cepat kembali ke kampus, kini keadaan justru berbalik 180 derajat.

Dari hasil survei terbatas pada sejumlah prodi noneksakta terungkap fakta sebagian besar mahasiswa yang persentasenya diperkirakan mencapai 80 persen telah merasa nyaman untuk menjalankan studi dari rumah atau dari tempat mereka berada dan merasa enggan untuk kembali kampus.

Kenyataan ini berbeda dibandingkan setahun lalu, ketika banyak mahasiswa merindukan momen kembali ke kampus.

Umumnya mereka merasa sulit untuk memahami pembelajaran yang dilakukan secara daring terutama bagi mahasiswa program eksakta.

Alasan enggan kembali ke kampus

Ada lima alasan utama mengemuka mengapa mahasiswa enggan untuk kembali ke kampus.

Pertama, seiring berjalannya waktu, mahasiswa telah banyak belajar untuk beradaptasi dengan keadaan dan merasa telah menemukan zona nyaman.

Di awal pandemi banyak yang kelabakan dengan berbagai program daring. Sekarang platform Zoom Meeting, Google Class Room, Google Meet, Microsoft Teams dan sebagainya telah menjadi keseharian.

Sejumlah perguruan tinggi telah menyediakan online learning system yang amat menunjang pembelajaran daring.

Tidak banyak lagi yang merasa kesulitan. Semua menikmati berbagai nilai tambah yang diberikan dari kondisi yang semula dipaksakan, namun perlahan telah menjadi kebiasaan baru.

Kedua, menghemat waktu dan tenaga.

Bagi mahasiswa yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta, mereka tidak perlu lagi terjebak kemacetan lalu lintas yang menyita waktu dan menghabiskan tenaga percuma.

Mereka tak harus lagi bangun pagi-pagi demi menghindari kepadatan jalan. Semua dapat dilakukan dari rumah, bahkan sambil berbaring di tempat tidur. Nikmatnya.

Ketiga, menghemat biaya.

Karena di rumah maka otomatis tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi. Bagi mahasiswa dari luar kota, tidak perlu mengeluarkan biaya khusus untuk kos, makan dan lainnya.

Penghematan ini cukup signifikan. Orangtua paling merasa senang dengan kondisi ini.

Keempat, bekerja sambil kuliah.

Bagi mahasiswa yang aktif, pantang untuk berdiam diri. Memanfaatkan waktu yang lebih longgar, mereka memanfaatkan untuk bekerja.

Memang jadi tidak berkesan profesional karena bekerja sambil berkuliah daring. Biasanya kuliah yang dikorbankan dan lebih fokus untuk pekerjaan.

Sejumlah dosen mengeluh mahasiswanya menghilang ketika diajak berinteraksi. Bisa jadi salah satunya mereka sedang bekerja dan tidak mendengarkan kuliah yang sedang berlangsung.

Terakhir, kemudahan seiring kebijakan “khusus” yang diberikan.

Di awal pandemi sejumlah perguruan tinggi memberikan diskresi dalam hal evaluasi pembelajaran. Tak heran jika selama pandemi nilai indeks prestasi mahasiswa terdongkrak naik.

Ujian yang biasanya diadakan tertulis di ruang kelas dengan penjagaan ketat diganti dengan tugas atau proyek khusus yang menyenangkan. Cara evaluasi pembelajaran yang berubah ternyata menguntungkan nilai mahasiswa.

Jika mereka kembali ke kampus, bisa dipastikan evaluasi akan diberikan dalam bentuk ujian tertulis. Banyak yang khawatir nilai indeks prestasi akan menurun. Kembali ke kampus semakin dihindari.

Kebijakan kampus

Pengelola perguruan tinggi tidak tinggal diam menyikapi perubahan kebiasaan yang terjadi.

Teknologi kelas hibrida diterapkan. Artinya pada waktu bersamaan mahasiswa dapat menghadiri kuliah di kampus atau tetap daring di rumah masing-masing.

Mahasiswa dapat memilih. Uniknya jumlah yang hadir di kampus kalah banyak dibanding dengan yang tetap tinggal di rumah.

Ada juga yang membagi pembelajaran satu semester ke dalam sesi daring dan luring secara terpisah. Masing-masing dengan persentase yang sama.

Yang lain menawarkan kuliah daring, tetapi ujian di kampus. Bahkan ada juga yang memberlakukan ujian secara live dengan memfungsikan kamera lebih dari satu.

Secara umum perguruan tinggi ingin tetap menjaga kualitas pembelajaran walau dalam situasi yang tidak menguntungkan. Segala upaya tentu patut diapresiasi.

Bagaimana dengan dosen?

Kurang lebihnya mirip dengan mahasiswa walau bagi para dosen senior yang sebagian mungkin gagap teknologi, mereka lebih antusias untuk menyambut pembelajaran di kampus yang sesungguhnya.

Bagi dosen yang telah beradaptasi dengan kebiasaan baru ini, metode daring justru terasa lebih dinikmati manfaatnya. Ada yang merasa lebih produktif dan menemukan cara-cara baru pembelajaran yang inovatif.

Namun demikian, harus diakui keniscayaan berkuliah adalah berinteraksi dengan dosen dan teman kuliah secara langsung. Memperluas jejaring dan memperkuat kemampuan berkomunikasi dengan sesama.

Bukan sekadar transfer pengetahuan, mencari status atau memperoleh ijazah semata.

Ketika pandemi telah berlangsung lebih dari dua tahun dan kecenderungannya telah terkendali, ternyata tidak mudah juga memulai lagi kehidupan di kampus.

Mungkin momentumnya telah lewat. Banyak perilaku mahasiswa dan dosen telah berubah.

Benar adanya bahwa krisis akan mengubah arah kehidupan dan takkan pernah lagi sama seperti dulu.

Tinggallah menjadi sejarah mengenang masa lalu.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/12/100459671/tantangan-kembali-ke-kampus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke