Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Konten TikTok "Welcome to Indonesia", Dosen Unair: Kritik yang Kreatif

KOMPAS.com - Meski menuai berbagai pro dan kontra, nyatanya konten bertema “Welcome to Indonesia” dipandang positif dari sisi Komunikasi.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Nisa Kurnia Illahiati menanggapi bahwa video tersebut menjadi bentuk kritik yang dinamik dan kreatif.

“Sarcasm is a whole of level dibandingkan misalkan kritikan yang dulu bersifat physical,” ungkap Nisa seperti dirangkum dari laman Unair News, Jumat (9/7/2021).

Pengampu mata kuliah Media Budaya dan Masyarakat Urban ini menyebut, video TikTok Welcome to Indonesia menjadi wadah berekspresi bagi para penggunanya.

“Welcome to Indonesia merupakan wadah untuk meluapkan rasa frustasi karena tidak bisa mengubah apa yang dianggap seharusnya benar oleh TikTok-ers,” jelasnya.

Kritik dalam bentuk video ini, tambahnya, juga membuktikan bahwa kini kritik tidak terbatas pada platform tertentu. Bahkan, sedikit banyak melatih cara netizen mengomunikasikan kritik dengan cara yang lebih baik.

“Video ini menggunakan makna laten, dan jadi dinamika tersendiri yang bagus dalam platform media sosial di Indonesia,” sebutnya.

Sebagai media sosial yang digandrungi oleh kalangan muda remaja hingga dewasa, aplikasi TikTok mengalami perkembangan dari media yang dikenal menampilkan keterampilan menari penggunanya, hingga menjadi media menyalurkan ekspresi.

“Akhir tahun 2020, muncul dakwah TikTok di mana TikTok tidak lagi digunakan untuk menampilkan kemampuan dance sesuai yang disarankan TikTok. Kemudian, terjadi pergeseran dari yang awalnya having fun, entertainment purposes menjadi semua fungsi, dari edukasi, informasi, dan katorsis termasuk ekspresi diri,” tuturnya.

Sesuai dengan teori social construction of technology, Nisa menyebutkan pembuat mungkin memiliki ekspektasi tertentu dalam membuat media, namun yang menentukan perkembangan pemakaian teknologi adalah pemakai media itu sendiri.

“Sama seperti media lain seperti Facebook, Twitter atau Instagram. Platform TikTok tidak harus digunakan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat, tapi berkembang mengikuti masyarakat yang menggunakannya,” jelasnya.

Ragam bahasa, sambung Nisa, juga menjadi keunikan tersendiri yang menjadi pembeda platform sosial media satu dengan lainnya.

“Justru di situlah keunikan yang membedakan satu di antara media lain, dari bahasanya saja kita bisa tahu itu dari media apa,” paparnya.

Menurutnya, perlahan tapi pasti, pengguna suatu media akan membuat kesepakatan dalam membentuk bahasa yang digunakan.

“Misalnya Twitter bahasanya text-based language dengan singkatan ala Twitter, lalu Instagram dengan bahasa yang secara visual muncul di feed, dan Tiktok secara verbal non-formal yang punya bahasanya sendiri,” tutupnya.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/07/09/125914671/konten-tiktok-welcome-to-indonesia-dosen-unair-kritik-yang-kreatif

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke