Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jelang PTM Terbatas, Nur Rizal: SKB Empat Menteri Belum Sentuh Substansi Pembelajaran

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri telah menetapkan sekolah wajib memberikan layanan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas sebagai pilihan di masa pandemi.

Kebijakan ini didorong guna menjawab kekhawatiran terjadinya learning loss (hilangnya pembelajaran) selama satu tahun lebih siswa melaksanakan pembelajaran berbasis daring lewat PJJ (pembelajaran jarak jauh).

Muhammad Nur Rizal, penggagas dan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, memandang SKB Empat Menteri masih belum menjawab substansi pembelajaran.

Meski persiapan dan pengawasan protokol kesehatan merupakan hal penting, sisi kesiapan guru dari sisi pedagogi dan juga konten kurikulum juga manjadi hal substansi yang tidak boleh diabaikan.

Jika kedua hal ini diabaikan, Rizal khawatir, PTM tidak mampu menjadi solusi menjawab soal learning loss. Sebaliknya, jika guru dan konten kurikulum PTM terbatas tidak disiapkan secara optimal, hal ini dapat menimbulkan persoalan baru.

PTM bukan solusi utama

"Kita sepakat learning loss sebenarnya sudah lama terjadi bahkan sebelum pandemi terjadi. Pandemi hanya semakin menyadarkan kita bahwa learning loss tersebut ada," ungkap Nur Rizal dalam pertemuan dengan media yang digelar secara daring (23/4/2021).

Secara tegas Rizal mengatakan, "SKB Empat Menteri hanya menjawab soal kanal belajar, bukan substansi belajar."

Ia menjelaskan learning loss sudah lama terjadi akibat kebijakan politik yang salah dan paradigma pendidikan yang masih birokratis dan berfokus pada problematik konten.

"Harus dilakukan perubahan menyeluruh dari tingkat Presiden hingga ke pemerintah daerah. 

Di sisi lain, Rizal memberikan dukungan terhadap rencana Mendikbud untuk melakukan blended learning dalam pelaksanaan PTM terbatas nantinya.

"Blended learning sebuah keharusan. Bukan pilihan. Budaya (baik) yang setahun lebih dilaksanakan jangan sampai hilang lagi. Tidak bisa ditinggalkan," ujarya.

"Prokes (protokol kesehatan) dan vaksin penting. Namun yang tidak kalah penting mindset guru. Orientasi guru pada PTM harus bukan lagi pada nilai, tetapi lebih kepada wellbeing siswa. Bagaimana siswa mampu memiliki kecakapan hidup," ujarnya.

Ia berharap saat PTM terbatas nanti, guru tidak lagi melakukan pola pembelajaran yang bersifat alih pengetahuan (transfer knowledge) saja.

"Konten bisa diakses melalui beragam cara. Perlu perubahan kurikulum (dalam PTM). Konten harus disederhanakan. Ini bukan pekerjaan ringan. Harus bentul-betul ada revolusi orientasi kebijakanaan," ujar Rizal.

Rizal berharap, kurikulum dan konten dalam PTM terbatas nanti akan lebih banyak porsi yang mengarahkan siswa dalam melakukan refleksi. Dengan demikian, sumber-sumber belajar siswa dapat diangkat dari permasalahan dan keseharian siswa.

"Hal ini akan mendorong empati siswa untuk menemukan solusi masalah-masalah yang ada di sekitarnya," terangnya.

"Perlu pelatihan terhadap pedagogi baru. Maka guru ketika tatap muka melakukan flip learning di mana yang dilakukan bukan transfer pengetahuan, melainkan mengajak siswa diskusi, atau memberikan masukan-masukan terhadap project siswa," jelasnya.

Dibajak birokrasi

Peran Pemerintah dalam hal ini, tambah Rizal, bukan bersifat pendampingan birokratis melainkan membangun budaya dan kemampuan komunitas guru di setiap daerah untuk mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

"Dalam membangun komunitas guru, pemerintah hanya sebagai fasilitator saja. Solusi dihasilkan dari guru itu sendiri. Program bukan dari pemerintah. Pemerintah hanya mendorong saja bertukar praktik baik yang ada dalam komunitas guru," jelas Rizal.

Argumen ini dikemukakan Rizal belajar dari peer support system OECD, lembaga yang menyelenggarakan PISA, menyebut negara-negara yang nilai PISA baik memiliki tiga budaya ini terkait guru:

1. Adanya komunitas guru. Komunitas guru ini berfungsi sebagai updating proses belajar. "Fokusnya bukan administrasi tapi pada capaian murid. Selama ini tuntutan Pemerintah masih administrasi bukan dampak base," ujarnya.

2. Kemerdekaan otonomi guru. Rizal menjelaskan kurikulum nasional menjadi capaian kompetensi yang diharapkan negara. Namun, capian kompetensi siswa harus dijabarkan oleh masing-masing guru. "Merdeka Belajar juga harus menuntut sampai pada terjadinya perubahan perilaku," ujar Rizal mengingatkan.

3. Kemauan dan kesadaran guru untuk bertukar praktik belajar. "Hal itu perlu difasilitasi pemerintah, termasuk dalam politik anggaran. Perlu ada keseriusan menggarap hal ini," tambahnya.

Terkait program-program pendidikan yang telah dijalankan Mendikbud Nadiem Makarim, Rizal menilai sebenarnya "Mas Menteri" ingin menerobos cara-cara baru dalam dunia pendidikan.

"Tapi cara pendekatannya masih birokratif. Cara penganggarannya sepetti PNS. Banyak hal yang perlu diperbaiki. Budaya masih budaya lama. Masih menyandarkan pada ceklist administrasi," ungkapnya.

Ia merasa, jajaran birokrasi di bawah Nadiem Makarim, belum punya narasi yang sama dengan Mas Menteri. 

"Tujuannya membangun wellbeing, kualitas pembelajaran bukan KKM, tapi karena mindset lama tidak ada kemerdekaan pada kenyataanya. Tidak ada narasi untuk mengubah perilaku dan cara-cara baru," jelasnya.

Rizal menambahkan, "cara pelatihan masih sama. Mindset tidak bergeser, perilaku tidak bergeser, penganggaran tidak bergeser. Pengdopsian ini semua memerlukan detil. Saya khawatir Nadiem dibajak oleh birokrasi."

https://www.kompas.com/edu/read/2021/04/23/155645971/jelang-ptm-terbatas-nur-rizal-skb-empat-menteri-belum-sentuh-substansi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke