"Tapi keduanya opini sifatnya, karena belum tentu bagaimana arah kebijakan politik yang akan diambil oleh Gus Imin," ujar Rahadian.
Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional Binus University, Tangguh Chairil mengatakan, pernyataan Muhaimin tersebut menunjukkan adanya mindset "Guns vs Butter".
"Ini istilah terkait alokasi anggaran pemerintah. 'Guns' artinya anggaran untuk militer atau pertahanan, 'Butter' merujuk pada anggaran untuk kesejahteraan sosial," kata Tangguh.
Menurut Tangguh, pola pikir tersebut menganggap anggaran untuk pertahanan itu zero-sum (harus ada yang menang dan kalah) dengan anggaran untuk kesejahteraan sosial.
Sehingga, mereka yang menggunakan pola pikir itu menganggap ketika anggaran kesejahteraan sosial bisa ditingkatkan, maka anggaran pertahanan harus diturunkan.
"Pertanyaannya, apakah anggaran pertahanan dan kesejahteraan sosial itu selalu zero-sum atau trade-off (harus ada keuntungannya)? Belum tentu," ujar dia.
Tangguh menyebutkan, kajian ekonomi pertahanan terhadap berbagai studi kasus menunjukkan hasil berbeda-beda.
Terdapat kasus ketika anggaran pertahanan justru berdampak positif terhadap kesejahteraan sosial.
Sehingga, menurut Tangguh, anggaran pertahanan belum tentu zero-sum atau trade-off dengan anggaran untuk kesejahteraan sosial.
Ketika hubungan anggaran pertahanan dengan kesejahteraan sosial terjalin positif, istilah "Guns vs Butter" berubah menjadi "Guns and Butter", yaitu menggunakan anggaran pertahanan untuk merangsang dampak perekonomian.
Menurut Tangguh, pola pikir "Guns and Butter" ini yang sudah mulai diusahakan pemerintah Indonesia melalui istilah "investasi pertahanan".
Ia menambahkan, pernyataan Muhaimin yang menafikan kebutuhan alat perang karena "kita enggak perang" perlu dikritik.
"Memang sekarang kita berada dalam masa damai (tidak perang), tetapi dalam perencanaan pertahanan justru kita harus membangun sistem pertahanan sejak masa damai. Jangan ketika perang baru membeli persenjataan, itu jadinya sangat terlambat," kata Tangguh.
Ia menyebutkan, sudah terdapat beberapa potensi ancaman yang membuat pembangunan pertahanan Indonesia semakin mendesak, seperti sengketa Laut China Selatan (LCS), ketegangan China-Taiwan dan China-Amerika Serikat (AS).
Meski Indonesia berada dalam posisi non-claimant di sengketa LCS, namun secara de facto, wilayah Indonesia di Natuna masuk dalam klaim wilayah oleh China.
Sehingga, Indonesia perlu meningkatkan kekuatan persenjataan untuk mempertahankan Natuna, tidak bisa hanya melalui diplomasi saja.
"Sementara itu, kalau hubungan China-Taiwan dan China-AS di kawasan semakin memanas hingga berpotensi tereskalasi jadi konflik. Skenario konflik yang akan terjadi sangat mungkin membawa pengaruh ke wilayah Indonesia," ujar Tangguh.
***
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.