Menurut Fabby, kenaikan pangsa pasar baterai LFP disebabkan sejumlah keunggulan yang dimiliki oleh tipe baterai tersebut ketimbang baterai berbahan nikel. Misalnya, lebih aman dan memiliki life cycle lebih panjang atau dengan kata lain lebih awet.
"Dan karena tidak menggunakan nikel, harganya lebih murah," kata Fabby kepada Kompas.com, Selasa (23/1/2024).
Kendati demikian, kata dia, bukan berarti baterai NMC akan sepenuhnya ditinggalkan. Sebab, baterai NMC memiliki keunggulan dalam aplikasi tertentu, seperti untuk kendaraan berat.
"Misalnya bus listrik, kemudian truk. Kendaraan-kendaraan besar ini kan butuh tenaga besar, butuh densitas besar. Mereka butuh baterai dengan densitas tinggi, seperti NMC itu," ujar dia.
Menurut Fabby, dalam lima tahun ke depan pangsa pasar baterai NMC memang akan turun, tetapi volume permintaannya masih akan tetap tinggi.
Selain itu, nikel Indonesia tidak hanya dimanfaatkan untuk produksi baterai kendaraan listrik, tetapi juga untuk produksi stainless steel, yang permintaannya stabil.
Sehingga, kebutuhan terhadap nikel masih akan tetap sustain. Pertanyaan sesungguhnya, kata dia, justru apakah Indonesia sudah mengelola nikel dengan bijaksana.
"Karena cadangan nikel kita yang kadar tinggi itu jumlahnya semakin menipis dan diperkirakan mungkin kurang dari 10 tahun (habis). Nah, kadar tinggi inilah yang digunakan untuk produksi nikel kelas I, yang untuk kendaraan listrik," jelas Fabby.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, perkembangan teknologi baterai kendaraan listrik berjalan sangat cepat.
Beberapa alasan yang mendorong hal tersebut, kata dia, yaitu kebutuhan untuk memperoleh bahan baku yang rendah emisi dan menekan ongkos produksi.
Perusahaan kendaraan listrik dituntut oleh investor maupun oleh konsumen, terutama di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, untuk memperoleh bahan baku secara keberlanjutan.
Selain itu, produsen juga perlu memperhitungkan aspek emisi yang dihasilkan pada saat pemrosesan bahan baku sampai menjadi baterai.
"Sehingga, mereka mencoba untuk melakukan diversifikasi sumber bahan baku. Maka muncullah beberapa teknologi, misalnya ada LFP, ada juga menggunakan sodium, untuk alternatif bahan baku selain dari nikel," kata Bhima kepda Kompas.com, Selasa (23/1/2024).
Nikel dipandang masih menghasilkan emisi karbon yang cukup tinggi pada saat proses produksinya, termasuk pembangunan PLTU batubara yang masif di smelter nikel. Menurut Bhima, hal itu menjadi perhatian dari para produsen baterai kendaraan listrik.
Para produsen baterai kendaraan listrik juga mencari alternatif yang lebih murah, lebih efisien dan juga memiliki daya tahan pengisian yang lebih lama. Sehingga, mereka berinvestasi dengan teknologi secara besar besaran karena kebutuhan kebutuhan tadi.