Awalnya Filep berpikir harus bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memperjuangkan cita-citanya, atau masuk ke hutan dan memanggul senjata.
"Tapi ternyata tidak harus demikian. Gerakan bersenjata memang salah satu sisi perjuangan tapi ada sisi lain juga berjuang dengan damai, tidak harus membunuh, tidak harus menembak orang," tulis Filep, dikutip Kompas.com, Selasa (1/11/2022).
Filep meyakini kemerdekaan Papua dapat diperjuangkan dengan damai di tengah-tengah komunitas tanpa perlu bersembunyi di dalam hutan.
Baginya, menuntut hak harus dilakukan tanpa menindas hak orang lain.
"Kitorang menuntut hak tanpa menindas hak orang lain, tapi kitorang punya kebebasan untuk menyampaikan kitorang punya pendapat dan sepantasnya itu didengar oleh pihak lain," tuturnya.
Pada Juli 1998, Filep merancang aksi damai di Biak dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora. Aksi damai itu dimulai pada 4 Juli dan berakhir tragis pada 6 Juli 1998.
Human Rights Watch melaporkan, saat itu seorang sersan polisi masuk ke barisan demonstran. Karena dianggap hendak melakukan provokasi, dia dipukul dan beberapa giginya patah.
Insiden ini memicu bentrokan yang kemudian membuat tentara-tentara Indonesia menembaki demonstran. Menurut laporan, banyak mayat dimuat ke dalam truk dan diduga dibuang ke laut dari dua kapal TNI Angkatan Laut.
Dalam bukunya, Filep Karma mengungkapkan dugaannya bahwa ada banyak mayat yang dikubur seadanya di pulau-pulau kecil dekat Biak.
Hingga kini, jumlah korban jiwa dalam Peristiwa Biak Berdarah 1998 belum jelas. Filep serta dua adiknya, Constan dan Sari, ditangkap dan dipenjara.
Saat aparat menyerang para demonstran pada 6 Juli 1998, kaki Filep tertembak peluru karet. Ketika itu, polisi menangkap 150 orang dan hanya 19 orang yang diadili, termasuk Filep Karma.
Dia ditahan di kantor polisi Biak dari 6 Juli sampai 3 Oktober 1998.
Pada 25 Januari 1999, Pengadilan Negeri Biak menyatakan Filep bersalah atas tuduhan makar karena memimpin aksi dan pidato.
Pengadilan Biak menjatuhkan hukuman penjara 6,5 tahun, namun Filep mengajukan banding. Dia dipenjara di Biak dan belakangan dipindah ke penjara Abepura.
Dia bebas dari penjara pada 20 November 1999 dan kembali bekerja sebagai pegawai negeri untuk Pemerintahan Provinsi Papua.