Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keteguhan Filep Karma Membebaskan Papua

KOMPAS.com - Kabar duka datang dari Bumi Cendrawasih. Aktivis kemerdekaan Papua, Filep Karma, meninggal pada Selasa (1/11/2022).

Dilansir dari Antara, polisi menyebutkan bahwa jenazah Filep ditemukan warga di Pantai Base-G, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura pada Selasa (1/11/2022) pagi.

Foto yang dipublikasikan Antara memperlihatkan jenazah Filep terbaring di pantai dengan memakai pakaian selam.

Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura, Kombes Victor Mackbon mengatakan, jenazah dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura.

Polisi berkoordinasi dengan pihak keluarga terkait otopsi jenazah guna memastikan penyebab kematian Filep.

Dikutip dari BBC, salah seorang anak Filep, Audrey Karma, mengatakan bahwa ayahnya meninggal karena tenggelam. 

Audrey berujar, ada saksi dari keluarga yang berenang bersama Filep di pantai Base G, Jayapura, pada Minggu (30/10/2022).

Berjuang tanpa kekerasan

Filep Jacob Semuel Karma, lahir pada 14 Agustus 1959 di Biak. Dia berasal dari keluarga terpandang di Papua.

Ayahnya, Andreas Karma, menjadi wakil Bupati Jayapura pada 1968 hingga 1971, dan menjabat Bupati Wamena pada 1970-an serta Bupati Serui pada 1980-an.

Filep menamatkan sekolah menengah di Jayapura pada 1979 dan kemudian melanjutkan kuliah ilmu politik di Universitas Sebelas Maret di Surakarta, Jawa Tengah.

Dia lulus pada 1987 dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Pendidikan dan Pelatihan Jayapura.

Pada 1997, Filep mendapatkan beasiswa untuk kuliah selama setahun di Asian Institute of Management, Manila, Filipina.

Memori tentang kekejaman militer Indonesia di tanah kelahirannya, ditambah pendidikan yang didapatkan, membuat Filep tergerak untuk menyuarakan kemerdekaan Papua sepulang dari Manila pada 1998.

Dalam perjuangannya menyuarakan kemerdekaan Papua, Filep Karma memilih menggunakan cara-cara damai dan tanpa kekerasan.

Dalam buku Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014), Filep menulis bahwa Manila telah mengubah konsep perjuangannya.

Awalnya Filep berpikir harus bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memperjuangkan cita-citanya, atau masuk ke hutan dan memanggul senjata.

"Tapi ternyata tidak harus demikian. Gerakan bersenjata memang salah satu sisi perjuangan tapi ada sisi lain juga berjuang dengan damai, tidak harus membunuh, tidak harus menembak orang," tulis Filep, dikutip Kompas.com, Selasa (1/11/2022). 

Filep meyakini kemerdekaan Papua dapat diperjuangkan dengan damai di tengah-tengah komunitas tanpa perlu bersembunyi di dalam hutan.

Baginya, menuntut hak harus dilakukan tanpa menindas hak orang lain.

"Kitorang menuntut hak tanpa menindas hak orang lain, tapi kitorang punya kebebasan untuk menyampaikan kitorang punya pendapat dan sepantasnya itu didengar oleh pihak lain," tuturnya.

Dari penjara ke penjara

Pada Juli 1998, Filep merancang aksi damai di Biak dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora. Aksi damai itu dimulai pada 4 Juli dan berakhir tragis pada 6 Juli 1998.

Human Rights Watch melaporkan, saat itu seorang sersan polisi masuk ke barisan demonstran. Karena dianggap hendak melakukan provokasi, dia dipukul dan beberapa giginya patah.

Insiden ini memicu bentrokan yang kemudian membuat tentara-tentara Indonesia menembaki demonstran. Menurut laporan, banyak mayat dimuat ke dalam truk dan diduga dibuang ke laut dari dua kapal TNI Angkatan Laut.

Dalam bukunya, Filep Karma mengungkapkan dugaannya bahwa ada banyak mayat yang dikubur seadanya di pulau-pulau kecil dekat Biak.

Hingga kini, jumlah korban jiwa dalam Peristiwa Biak Berdarah 1998 belum jelas. Filep serta dua adiknya, Constan dan Sari, ditangkap dan dipenjara.

Saat aparat menyerang para demonstran pada 6 Juli 1998, kaki Filep tertembak peluru karet. Ketika itu, polisi menangkap 150 orang dan hanya 19 orang yang diadili, termasuk Filep Karma.

Dia ditahan di kantor polisi Biak dari 6 Juli sampai 3 Oktober 1998.

Pada 25 Januari 1999, Pengadilan Negeri Biak menyatakan Filep bersalah atas tuduhan makar karena memimpin aksi dan pidato.

Pengadilan Biak menjatuhkan hukuman penjara 6,5 tahun, namun Filep mengajukan banding. Dia dipenjara di Biak dan belakangan dipindah ke penjara Abepura.

Dia bebas dari penjara pada 20 November 1999 dan kembali bekerja sebagai pegawai negeri untuk Pemerintahan Provinsi Papua.

Filep kembali dipenjara setelah mengorganisasi sebuah upacara peringatan 1 Desember 2004 —untuk menandakan ulang tahun kedaulatan Papua pada 1 Desember 1961.

Peristiwa ini dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa Papua. Mereka juga menyerukan penolakan terhadap otonomi khusus yang dinilai gagal.

Dia ditangkap lagi, mula-mula ditahan di kantor polisi Jayapura, kemudian diadili di pengadilan negeri Abepura.

Pada 27 Oktober 2005, Pengadilan Negeri Abepura menghukum Filep Karma dengan vonis 15 tahun penjara atas tuduhan makar. 

Filep bebas pada 19 November 2015, setelah menjalani masa tahanan selama 11 tahun penjara.

Dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia seusai bebas, Filep menegaskan tekadnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.

“Papua belum merdeka, berarti perjuangan saya belum selesai. Saya akan terus berjuang sampai Papua merdeka," kata Filep.

Dia mengatakan, untuk mewujudkan tekadnya itu ia siap untuk kembali dipenjara.

"Saya bebas dari penjara sekarang ini, sebetulnya saya masih dalam penjara, yaitu penjara besar Indonesia. Artinya saya masih terkurung dalam negara Indonesia dengan aturan-aturannya yang diskriminatif dan rasialis," tuturnya.

Kekerasan di Papua

Dikutip dari artikel tertanggal 16 November 2011 di laman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, benturan politik di Papua sudah terjadi sejak lama dan telah meluas. Permasalahan itu menjadi kian kompleks dan sulit dicari akarnya.

Peneliti LIPI (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) Muridan S Widjojo mengatakan, ada empat masalah yang terjadi di Papua.

Pertama, masalah sejarah dan status politik di mana orang Papua merasa status politiknya belum beres dengan Indonesia.

Kedua, konflik yang tidak terselesaikan sejak digelarnya operasi militer pada 1965. LIPI mencatat ada beberapa daftar kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang membuat masyarakat Papua semakin sakit hati terhadap Indonesia.

"Luka kolektif terpendam lama. Dan itu di Papua disosialisasikan melalui di honai-honai, dulu kau punya bapak yang disiksa tentara Indonesia. Itu terus ditanamkan," kata Muridan, dikutip dari pemberitaan Media Indonesia.

"Makanya, anak-anak muda sangat radikal dan anti-Indonesia. Jadi, akar masalah kedua kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang tidak pernah dipertanggungjawabkan," tutur dia.

Ketiga, adanya stigma terhadap orang Papua, kemudian marginalisasi dengan migrasi, pembangunan yang membuat orang papua tersingkir.

Keempat, kegagalan pembangunan pada bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

"Di papua paling gampang menemukan sekolah SD yang enggak jalan. Satu sekolah gurunya satu. Puskesmas kosong. Negara tidak hadir di bagian-bagian orang Papua membutuhkan, " ujarnya.

Di sisi lain, kata Muridan, masih ada tembok ketidakpercayaan antara pemerintah dan masyarakat Papua.

https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/11/01/153630682/keteguhan-filep-karma-membebaskan-papua

Terkini Lainnya

[HOAKS] Foto Ular Raksasa di Carolina Selatan

[HOAKS] Foto Ular Raksasa di Carolina Selatan

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Warga Rafah Bikin Video Rekayasa Serangan Israel

[HOAKS] Warga Rafah Bikin Video Rekayasa Serangan Israel

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Presiden FIFA Minta Laga Indonesia Vs Guinea Diulang

[HOAKS] Presiden FIFA Minta Laga Indonesia Vs Guinea Diulang

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Undian Berhadiah 30 Motor dalam Rangka Ulang Tahun

[HOAKS] Undian Berhadiah 30 Motor dalam Rangka Ulang Tahun

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Wawancara Raffi Ahmad soal Situs Judi

[HOAKS] Video Wawancara Raffi Ahmad soal Situs Judi

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Ustaz Solmed Promosikan Situs Judi

[HOAKS] Video Ustaz Solmed Promosikan Situs Judi

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks FIFA Ulang Laga Indonesia Vs Uzbekistan, Simak Bantahannya

INFOGRAFIK: Hoaks FIFA Ulang Laga Indonesia Vs Uzbekistan, Simak Bantahannya

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Konteks Keliru, Pria yang Kibarkan Bendera Palestina Bukan Raja Denmark

INFOGRAFIK: Konteks Keliru, Pria yang Kibarkan Bendera Palestina Bukan Raja Denmark

Hoaks atau Fakta
Kompilasi Foto Hewan Menakjubkan yang Dibuat dengan AI Generatif...

Kompilasi Foto Hewan Menakjubkan yang Dibuat dengan AI Generatif...

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Ular Piton Menelan Anak Kecil

[HOAKS] Video Ular Piton Menelan Anak Kecil

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Video Hashim dan Prabowo Terkait Janji Politik Disajikan dalam Konteks Keliru

INFOGRAFIK: Video Hashim dan Prabowo Terkait Janji Politik Disajikan dalam Konteks Keliru

Hoaks atau Fakta
Cahaya Langit Aurora Tidak Terkait Eksperimen HAARP

Cahaya Langit Aurora Tidak Terkait Eksperimen HAARP

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Vladimir Putin Umumkan Rusia Akan Bersatu dengan Yaman

[HOAKS] Video Vladimir Putin Umumkan Rusia Akan Bersatu dengan Yaman

Hoaks atau Fakta
Hoaks Terkait Sandra Dewi, Dijemput Paksa Polisi dan Temuan Emas Batangan

Hoaks Terkait Sandra Dewi, Dijemput Paksa Polisi dan Temuan Emas Batangan

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Warga Gaza Buat Video Rekayasa untuk Tarik Simpati

[HOAKS] Warga Gaza Buat Video Rekayasa untuk Tarik Simpati

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke