KOMPAS.com - Hoaks dan narasi keliru terkait Tragedi Kanjuruhan mulai beredar di media sosial. Informasi yang belum terverifikasi itu dikhawatirkan dapat menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat.
Misalnya, rekaman suara perempuan yang mengaku sebagai penjual dawet di sekitar Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Menurut pernyataan perempuan itu, tewasnya ratusan suporter Arema FC bukan disebabkan gas air mata polisi, tetapi karena berdesakan dan saling tendang antarsuporter.
Dia juga menyebutkan jenazah suporter yang meninggal berbau minuman keras. Kesaksian perempuan itu beredar di berbagai platform media sosial, seperti TikTok dan Twitter.
Ada pula narasi yang menyatakan bahwa kerusuhan usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada Sabtu (1/10/2022) malam itu murni karena ulah Aremania.
Baca juga: Memutus Rantai Kekerasan Polisi Pasca-tragedi Kanjuruhan
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengatakan, munculnya berbagai hoaks dan narasi keliru tidak terlepas dari akuntabilitas dan lambatnya penanganan polisi.
“Itu karena kelemahan kerja dari kepolisian. Hoaks itu kan pasti ada, apakah Polri menunggu hoaks-hoaks itu terus? Atau jangan-jangan malah yang membuat hoaks Polri sendiri untuk mengaburkan fokus masyarakat, jangan-jangan lho ya,” ujar Bambang kepada Kompas.com, Rabu (5/10/2022).
Bambang melihat adanya kesamaan pola penanganan Tragedi Kanjuruhan dengan masa awal kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Ia menilai, pernyataan kepolisian dalam merespons tragedi tersebut cenderung defensif dan terkesan prematur. Contohnya tindakan polisi menembakkan gas air mata ke arah tribune sebagai upaya mencegah kerusuhan.
Diketahui, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Irjen Nico Afinta mengeklaim penggunaan gas air mata untuk mengendalikan massa sesuai prosedur. Sedangkan, FIFA melarang penggunaan gas air mata untuk mengurai massa di stadion.
Baca juga: Desakan Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan Menguat, Penanganan Polisi Jadi Sorotan
“Ini polanya seperti penanganan pembunuhan Brigadi Yoshua itu. Muter-muter di awal dan pernyataan-pernyataannya prematur. Tidak menunjukkan rasa bersalah dan sering kali defensif ketika ada masukan dari masyarakat dan ngeyel,” kata Bambang.
Penanganan polisi yang dinilai tidak akuntabel dan cenderung tidak terbuka, menurut Bambang, justru menimbulkan berbagai persepsi di masyarakat. Akibatnya muncul berbagai hoaks dan narasi yang keliru.
Bambang menegaskan, polisi harus menangani kasus tersebut secara terbuka dan akuntabel untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri.
Ia berpandangan, sebaiknya pejabat atau perwira tinggi Polri, termasuk Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta, dinonaktifkan selama proses penyidikan.
Hal ini untuk menjaga obyektivitas dan membangun kepercayaan masyarakat bahwa Polri serius untuk menangani kasus tersebut.