Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Singkat Pedagang Trotoar di Indonesia dan Dunia

Kompas.com - 23/02/2022, 17:21 WIB
Kompasianer Giri Lumakto,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Sumber Kompasiana

KOMPAS.com - Pedagang di trotoar atau sering kita sebut pedagang kaki lima memiliki sejarahnya sendiri.

Gambaran cara berdagang mereka menggambarkan sebuah paradoks. Di satu sisi, pedagang kecil dan sepele ini menunjang ekonomi individu, kota bahkan negara.

Namun pahitnya, mereka sering dianggap kumuh, tidak tertib, dan sembarang berjualan di trotoar.

Perjuangan pedagang kecil ini pun tidak sampai dengan ditertibkan aparat yang tak kadang represif. Ada saja oknum yang mengeksploitasi mereka dengan meminta jatah.

Baca juga: Ini Alasan Pemindahan dan Lokasi Baru PKL yang Ada di Malioboro

Belum lagi komunitas pejuang hak pejalan kaki. Di satu sisi, banyak pejalan kaki juga dimudahkan dengan kehadiran pedagang kaki lima menggelar lapaknya.

Sejarah perebutan kuasa trotoar atau jalan oleh penggunanya dan pedagang telah lama terjadi.

Berikut sejarah singkat pedagang di trotoar jalan.

Jalur Sutra dan Warisan Romawi Kuno

Jalur Sutra (Silk Road) yang membentang dari Jawa sampai Eropa di abad 300 SM, mungkin adalah awal komersialisasi lahan berjualan di pinggir jalan.

Barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, rempah, kulit samak, sampai sutra digelar di jalan kota Tiongkok di dinasti Han. Atau, para pedagang batu berharga di jalan di kota Susa di Persia (Iran masa kini).

Sejak 2.000 tahun lalu para pedagang sudah memadati jalan-jalan di kota Romawi Kuno. Para penduduk kota Roma misalnya, menjual roti di sebuah bar terbuka di pinggir jalan yang disebut couponae.

Sedang pada hari-hari besar, banyak pedagang yang berkerumun di Macellum untuk berdagang makanan.

Makanan pokok seperti roti, pork, didatangkan dari pulau Sicily dan Sardinia. Sedang minuman seperti beer atau anggur berasal dari daerah Selatan kerajaan.

Umumnya makanan untuk rakyat dijatah oleh kaisar August dengan dikelola geraja. Bagi rakyat yang non-petani di kota Roma, bisa membeli di sebuah pasar bernama Trajan.

Tradisi pedagang di jalan ini dibawa saudagar ke negeri Inggris mulai abad ke-14. Sebuah daerah di London yang bernama Leadenhall Market, dahulu adalah tempat berkumpulnya pedagang kaki lima.

Makanan ringan seperti shepe fete atau strabery rype dijual para perempuan dengan keranjang yang disunggi di atas kepala.

Karena populasi kota London mencapai lebih dari 3 juta orang di tahun 1871, pedagang jalanan di London tumbuh menjadi 6.000 vendor.

Para costermonger atau pedagang jalan ini banyak menjajakan makanan. Seperti acar whelks (sejenis kerang-kerangan), sup kacang, ikan goreng sampai yang umum dijumpai seperti pie.

Baru pada abad 20, kuliner dari India, Asia dan Afrika dijajakan di jalanan kota London.

Pedagang di trotoar abad 20 dan problematikanya

Di negara lain seperti Mesir, barang lebih ekstrem dijual di pinggir jalan. Sejak dikolonisasi oleh Napoleon pada tahun 1800-an, kebudayaan Mesir Kuno menjadi banyak menjadi perhatian orang Barat.

Tak ayal, banyak situs kuno di Mesir dijebol. Mumi berusia ratusan/ribuan tahun pun dicuri. Mumi-mumi ini pun dijual bebas di pinggir jalan sejak 1865.

Negara-negara sampai Abad 20 sudah memiliki banyak sebutan untuk para pedagang di trotoar ini.

Tidak hanya makanan, pedagang di trotoar berjualan mulai dari alat elektronik, aksesoris, baju, dan pernak-pernik cinderamata.

Di beberapa negara, pedagang trotoar juga dianggap mengganggu ketertiban dan indikasi pengangguran yang tumbuh.

Di kota-kota Spanyol dan Portugal pedagang ini dijuluki vendedores ambulantes. Istilah ini berarti pedagang (vendor) darurat karena harus berpindah-pindah.

Baca juga: Wayang Golek Masih Diminati, Ini Sejarah dan Filosofinya

 

Di Italia PKL hanya dijuluki ambulantes. Di Argentina pedagang jalanan dijuluki manteros yang berarti pedagang selimut (manta/mantle). Di Brazil dijuluki camel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com