Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Singkat Pedagang Trotoar di Indonesia dan Dunia

Gambaran cara berdagang mereka menggambarkan sebuah paradoks. Di satu sisi, pedagang kecil dan sepele ini menunjang ekonomi individu, kota bahkan negara.

Namun pahitnya, mereka sering dianggap kumuh, tidak tertib, dan sembarang berjualan di trotoar.

Perjuangan pedagang kecil ini pun tidak sampai dengan ditertibkan aparat yang tak kadang represif. Ada saja oknum yang mengeksploitasi mereka dengan meminta jatah.

Belum lagi komunitas pejuang hak pejalan kaki. Di satu sisi, banyak pejalan kaki juga dimudahkan dengan kehadiran pedagang kaki lima menggelar lapaknya.

Sejarah perebutan kuasa trotoar atau jalan oleh penggunanya dan pedagang telah lama terjadi.

Berikut sejarah singkat pedagang di trotoar jalan.

Jalur Sutra dan Warisan Romawi Kuno

Jalur Sutra (Silk Road) yang membentang dari Jawa sampai Eropa di abad 300 SM, mungkin adalah awal komersialisasi lahan berjualan di pinggir jalan.

Barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, rempah, kulit samak, sampai sutra digelar di jalan kota Tiongkok di dinasti Han. Atau, para pedagang batu berharga di jalan di kota Susa di Persia (Iran masa kini).

Sejak 2.000 tahun lalu para pedagang sudah memadati jalan-jalan di kota Romawi Kuno. Para penduduk kota Roma misalnya, menjual roti di sebuah bar terbuka di pinggir jalan yang disebut couponae.

Sedang pada hari-hari besar, banyak pedagang yang berkerumun di Macellum untuk berdagang makanan.

Makanan pokok seperti roti, pork, didatangkan dari pulau Sicily dan Sardinia. Sedang minuman seperti beer atau anggur berasal dari daerah Selatan kerajaan.

Umumnya makanan untuk rakyat dijatah oleh kaisar August dengan dikelola geraja. Bagi rakyat yang non-petani di kota Roma, bisa membeli di sebuah pasar bernama Trajan.

Tradisi pedagang di jalan ini dibawa saudagar ke negeri Inggris mulai abad ke-14. Sebuah daerah di London yang bernama Leadenhall Market, dahulu adalah tempat berkumpulnya pedagang kaki lima.

Makanan ringan seperti shepe fete atau strabery rype dijual para perempuan dengan keranjang yang disunggi di atas kepala.

Karena populasi kota London mencapai lebih dari 3 juta orang di tahun 1871, pedagang jalanan di London tumbuh menjadi 6.000 vendor.

Para costermonger atau pedagang jalan ini banyak menjajakan makanan. Seperti acar whelks (sejenis kerang-kerangan), sup kacang, ikan goreng sampai yang umum dijumpai seperti pie.

Baru pada abad 20, kuliner dari India, Asia dan Afrika dijajakan di jalanan kota London.

Pedagang di trotoar abad 20 dan problematikanya

Di negara lain seperti Mesir, barang lebih ekstrem dijual di pinggir jalan. Sejak dikolonisasi oleh Napoleon pada tahun 1800-an, kebudayaan Mesir Kuno menjadi banyak menjadi perhatian orang Barat.

Tak ayal, banyak situs kuno di Mesir dijebol. Mumi berusia ratusan/ribuan tahun pun dicuri. Mumi-mumi ini pun dijual bebas di pinggir jalan sejak 1865.

Negara-negara sampai Abad 20 sudah memiliki banyak sebutan untuk para pedagang di trotoar ini.

Tidak hanya makanan, pedagang di trotoar berjualan mulai dari alat elektronik, aksesoris, baju, dan pernak-pernik cinderamata.

Di beberapa negara, pedagang trotoar juga dianggap mengganggu ketertiban dan indikasi pengangguran yang tumbuh.

Di kota-kota Spanyol dan Portugal pedagang ini dijuluki vendedores ambulantes. Istilah ini berarti pedagang (vendor) darurat karena harus berpindah-pindah.

Di Italia PKL hanya dijuluki ambulantes. Di Argentina pedagang jalanan dijuluki manteros yang berarti pedagang selimut (manta/mantle). Di Brazil dijuluki camel.

Saat ini di India, diperkirakan ada 10 juta pedagang di trotoar. Pedagang di trotoar di Mumbai yang tertinggi mencapai 250.000 vendor.

Jutaan pedagang ini lalu membentuk National Association of Street Vendor of India (NASVI).

Lembaga ini menyuarakan lebih dari 700 organisasi vendor untuk perundangan yang mengatur kesejahteraan dan ketertiban pedagang di trotoar pada tahun 2014.

Di Sri Lanka, pedagang di jalan/trotoar malah menghadapi problem pelik. Ribuan pedagang makanan dianggap turut mendorong ekonomi kota.

Namun kini mereka ditertibkan secara represif oleh pemerintah kota seperti Colombo.

Menurut laporan pada tahun 2002, lapak/gerobak para pedagang makanan di jalan ini sampai dibakar oleh aparat ketertiban kota.

Kota di Thailand seperti Bangkok penuh sesak dengan pedagang di trotoar. Setidakny ada 3 alasan menjamurnya pedagangan ini.

Pertama tradisi makan di luar (jajan) orang Thailand, lalu ada tingkat urbanisasi, dan jumlah wisatawan.

Namun, sudah lama para penjaja makanan dan cinderamata di Bangkok dianggap penyebab kemacetan.

Sejak tingginya arus masuk imigran tahun 1960-an dari mainland China, jalanan kota Hong Kong dipenuhi jau gwei. Istilah Canton yang berarti lari dari hantu. Namun istilah ini mengacu pada penjaja makanan dan barang murah di trotoar yang sering ditertibkan pemerintah kota Hong Kong.

Dari 300.000 jau gwei pada tahun 70-an, jumlah mereka menurun dan pada tahun 2010 tersisa sekitar 6.000 lebih vendor.

Kucing-kucingan antara penjual di trotoar dengan aparat penertiban kota masih sering terjadi. Regulasi kesehatan yang ketat juga menyulitkan para pedagang ini.

Ditambah model sewa tempat atau lokasi jualan yang dianggap kian memberatkan. Para jau gwei di kota Hong Kong masih sering dilarang berjualan, terutama saat Lunar Year atau Imlek.

Pada tahun 1998, jumlah pedagang jalanan di Singapura mencapai 23.000 lebih. Hampir 70 persen berjualan makanan. Jumlah pedagang makanan tradisional dan modern mulai seimbang.

Namun, pengawasan ketat dinas kesehatan dan kebersihan membatasi ketat pedagang ini. Di sisi lain, lapangan pekerjaan dari model perdagangan di jalanan ini membantu perekonomian.

Di kota-kota besar di Afrika, fenomena pedagang di jalanan bak jamur di musim hujan. Hal ini karena banyak kota-kota di Afrika pertumbuhan populasi tidak sejalan dengan pertumbuhan kota dan ekonominya.

Contohnya di Nairobi, para pedagang ini bisa ditemui di semua sudut kota. Namun, lebih dari 50 persen omset harian mereka diminta oleh kanjo atau oknum pegawai negeri yang korup.

Di ibu kota Afrika Selatan, Johannesburg, pedagang di jalanan malah turun ke jalan pada tahun 2009. Para pedagang di jalanan ini memprotes aksi represif penertiban dan aturan berdagang di Johannesburg.

Sedangkan penduduk kota yag di didominasi orang kulit hitam terkungkung kemiskinan. Berdagang di jalanan adalah salah satu mata pencaharian mereka.

Indonesia, Antara Jalur Sutra dan Jakarta

Perjalanan komoditas Jalur Sutra juga melalui kerajaan Sriwijaya dan Samudrai Pasai. Sebagai kerajaan besar, Sriwijaya menyebar dari Jawa, Sumatera sampai ke Malaysia dan Kamboja di abad ke 6-7 Masehi.

Sedangkan kerajaan Samudra Pasai yang tumbuh pada abad ke-13 membawa serta pedagang dari Timur Tengah dalam perdagangan.

Kedua kerajaan Nusantara Kuno ini umumnya memperdagangkan rempah dan hasil laut.

Para pedagang mungkin akan berkumpul di pelataran kota atau alun-alun.

Kerajaaan Samudra Pasai di abad ke-13 terkenal dengan kualitas ladanya. Mungkin pedagang lokal maupun pendatang akan membuka lapaknya di pinggir jalan yang ramai.

Sejak abad ke-15, perdagangan rempah dikuasai Portugis. Gudang besar rempah-rempah pun dibangun di pelabuhan Sunda Kelapa.

Cengkih mulai didatangkan dari Maluku. Namun kolonialisasi Belanda (via VOC) di abad ke-16 mulai menguasai banyak komoditas. Namun runtuh setelah pendudukan Jepang di awal abad ke-19.

Kota-kota perdagangan pun mulai muncul saat Belanda menduduki Indonesia. Kota-kota seperti Cirebon, Semarang, dan Batavia menjadi sentra pertukaran komoditas waktu itu.

Gedung Niaga di kota Kebumen, contohnya, dulu ramai oleh pedagang tembakau dan rempah lokal dan internasional. Bisa jadi para pedagang tembakau lokal dan antar pulau akan memenuhi jalan Yos Sudarso di Cirebon.

Sejak abad ke-15 sampai ke-16, Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) menjadi rebutan kerajaan dan VOC. Kota ini diubah menjadi Batavia pada awal abad ke-17 oleh Belanda.

Lalu namanya diubah lagi menjadi Jayakarta hingga Jakarta pada saat pendudukan Jepang abad ke-19. Kota yang penuh dengan transaksi perdagangan ini disebut sebagai Permata Asia pada waktu itu.

Para pedagang yang kebanyakan orang Tionghoa akan berdagang di pusat kota Batavia waktu itu. Daerah seperti Glodok, Pinangsia dan Jatinegara menjadi pusat konsentrasi perdagangan orang Tionghoa di awal abad ke-18.

Sedangkan orang Batavia banyak tinggal di kantor dagang sekaligus rumah tinggal (Nassau Huis) di sekitaran Ciliwung.

Sejak kemerdekaan, Jakarta tetap menjadi sentra perdagangan.

Pada tahun 70-an, pasar seperti Blok-M, stasiun Jakarta Kota, dan Pasar Senen dipadati pedangan di trotoar.

Walau tidak seramai sekarang, pedagang kaki lima masih menghiasi trotoar. Ditambah arus urbanisasi, Jakarta hampir setiap minggu diramaikan razia pedagang kaki lima.

Modal kecil, tak punya skill, atau daripada menganggur menjadi alasan PKL menjamur di kota besar.

Kontribusi ekonominya mungkin besar. Menurut aturan pemerintah, pedagang kaki lima tak resmi tidak dikenai pajak UKM. Sedang di Jakarta sendiri PKL yang terdaftar mencapai 21.000 lebih yang menyebar di beragam wilayah.

Mungkin jumlah ini tidak menghitung pelapak di trotoar jalan. Mereka yang berdagang dengan gerobak atau lapak sementara yang memenuhi sekitaran stasiun atau terminal.

Selain menyebabkan padatnya lalu lintas, para pelapak liar di trotoar ini tak ayal memakan hak pejalan kaki. Penertiban yang ada bisa diakali dan kadang kucing-kucingan dengan petugas.

Mengendalikan para PKL liar pun tak jarang dilakukan sporadis dan kuratif semata. Seperti penertiban PKL di Tanah Abang dan Jalan Jati Baru yang terus menimbulkan polemik.

Pembenahan malah tidak bisa mengatur ketertiban pedagang yang berjualan di sekitara trotoar Tanah Abang. Arus lalulintas pun terus macet dan tak tertata.

Perdagangan informal seperti berdagang di trotoar sudah ada sejak zaman dahulu. Yang masih serupa adalah jenis komoditas dagang dan permasalahannya. Namun, dalam polemik ini ekonomi pun terus tumbuh dan menggeliat di tiap zaman dan negara.

Hak pejalan kaki akan terus menjadi korban para pedagang di trotoar. Mereka kadang lebih galak dari pejalan kaki yang memang memiliki hak.

Pihak aparat penertib kadang kalah jumlah, kalah pintar, dan kalah frekuensi kehadiran di trotoar.

Entah mengapa, para pejalan kaki pun merasa dimudahkan. Gorengan di pojok perempatan ramai akan terus kembali didatangi. Para pelapak baju atau sepatu KW akan terus ramai walau sering ditertibkan. Sebuah paradoks tersendiri yang bagi beberapa dimaklumi.

Sumber: ancient.eu/foodinroamanworld | ancient.eu/silkroad| howafrica.com | inclusivecity.com | jejakpiknik.com | kompas.com | londonist.com | spoonuniversity.com | theglobalist.com | wikipedia.com/jaguwei | wikipedia.com/batavia

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sejarah Singkat Pedagang di Trotoar"

https://www.kompas.com/wiken/read/2022/02/23/172123081/sejarah-singkat-pedagang-trotoar-di-indonesia-dan-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke