KOMPAS.com - Seorang mahasiswi berinisial NWR (23) ditemukan meninggal dunia lantaran bunuh diri, Kamis (2/12/2021). NWR meninggal bunuh diri diduga karena meminum racun.
Jasadnya ditemukan meninggal tepat di pusara ayahnya di pemakaman umum Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar pukul 15.30 WIB.
Belakangan diketahui bahwa penyebab NWR mengakhiri hidupnya adalah karena mengalami tekanan mental atau depresi. Korban diketahui juga memiliki hubungan asmara dengan seorang anggota Polres Pasuruan, Bripda RB.
Cerita mengenai meninggalnya NWR ini kemudian viral di media sosial. Polisi kemudian melakukan pemeriksaan.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, RB ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana aborsi atau pasal dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin. RB dijerat pasal 348 KUHP juncto pasal 55 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.
"RB kini ditahan di Mapolres Mojokerto. Kami tidak pandang bulu dalam penegakan hukum termasuk kepada anggota Polri," kata Wakapolda Jatim Brigjen Slamet Hadi Supraptoyo melalui keterangan resminya Sabtu (4/12/2021) malam.
Selain itu, dari hasil pemeriksaan juga, RB yang telah menjalin hubungan asmara dengan korban diduga telah melakukan aborsi sebanyak dua kali, yaitu di bulan Maret 2020 dan Agustus 2021.
"Keduanya lalu sepakat menggugurkan kandungan saat 2 kali hamil tersebut. Pertama saat usia kandungan masih hitungan minggu, dan kedua berusia 4 bulan," jelas Slamet.
Baca juga: Kasus Polisi Perkosa Mahasiswa hingga Bunuh Diri, Kapolri: Sedang Ditangani
Selain ditahan dan terancam hukuman 5 tahun penjara, Slamet mengatakan, RB akan diproses secara internal dan dijerat dengan Pasal 7 dan 11, Perkap Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik.
"Ini sudah memenuhi unsur, hukuman terberatnya adalah Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH). Ini hukuman terberat," ungkapnya.
Di sisi lain, Dosen hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, tidak menutup kemungkinan bagi RB untuk dijerat dengan pasal pemerkosaan.
"Jika kematiannya (korban) disebabkan oleh atau berhubungan dengan keadaan akibat perbuatan pelaku, maka sesungguhnya penyidik bisa mengualifikasi perbuatan itu sebagai pemaksaan," kata Fickar saat dihubungi Kompas.com, Minggu (5/12/2021).
Fickar menjelaskan, polisi bisa saja meminta keterangan pelaku terkait obat tidur dan dan akibat-akibat lain yang mengindikasikan kekerasan. Sehingga, kata dia, pelaku bisa dijerat dengan pasal perkosaan.
"Tersangka bisa dijerat dengan pasal perkosaan, apalagi ada rekan korban yang mengetahuinya," kata dia.
Selain itu, Abdul juga mengatakan polisi bisa menerapkan pasal perkosaan, dan mengambil rujukan dari media sosial, apalagi jika di media sosial itu ada dialog dengan pihak lain yang masih mungkin dimintakan keterangannya sebagai konfirmasi curhatan korban.
Baca juga: Polisi yang Paksa Aborsi Mahasiswi hingga Bunuh Diri Juga Bisa Dijerat Pasal Perkosaan