Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepanjang 1816 Bumi Tak Mengenal Musim Panas, Apa Penyebabnya?

Kompas.com - 21/04/2024, 10:00 WIB
Aditya Priyatna Darmawan,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bumi tak mengalami musim panas pada 1816 hingga disebut sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas".

Sepanjang Juni-September 1816, musim panas justru dihantui oleh hujan salju yang lebat.

Dikutip dari History, suhu di sebagian besar wilayah Amerika Serikat turun hingga di bawah titik beku dengan adanya hujan salju lebat dan embun yang membeku hingga bulan Juli.

Di Eropa, cuaca dingin yang tidak sesuai musim juga terjadi, dengan bagian benua lainnya diguyur hujan selama 130 hari lamanya.

Tak sampai di situ, gagal panen yang menyebabkan kelaparan dan wabah tifus juga terjadi di daratan China.

Di India, gangguan cuaca ini menyebabkan munculnya penyakit kolera jenis baru yang mematikan dan akhirnya menewaskan ribuan orang.

Lantas, apa yang menyebabkan 1816 menjadi tahun tanpa musim panas?

Baca juga: Ramai soal Tak Ada Badai yang Melintasi Garis Khatulistiwa, Ini Kata BMKG

Penyebab gangguan cuaca pada 1816

Dilansir dari IFLScience, penyebab cuaca tidak biasa pada 1816 ini karena letusan Gunung Tambora di tahun sebelumnya.

Gunung berjenis stratovolcano di Sumbawa, Indonesia ini meletus hebat pada 5 April 1815 yang kemudian memengaruhi iklim Bumi selama berbulan-bulan setelahnya.

Hal tersebut terjadi ketika partikel abu yang sangat kecil dan ringan tetap berada di atmosfer, tepatnya di bagian stratosfer.

Partikel abu yang berterbangan tersebut pada akhirnya menghalangi sinar Matahari sehingga menyebabkan pendinginan di permukaan Bumi.

Penurunan suhu juga disebabkan oleh letusan yang memuntahkan sulfur dioksida yang lalu bergabung dengan air di stratosfer dan menghasilkan asam sulfat.

Kombinasi ini memantulkan radiasi Matahari yang masuk ke Bumi, yang seharusnya dapat menghangatkan planet ini.

Meski letusan Gunung Tambora dinilai sebagai letusan paling dahsyat dalam sejarah, namun sejauh mana peran gunung tersebut dalam perubahan cuaca ekstrem dinilai masih belum terlalu jelas saat itu.

Hingga pada 2019, ahli geologi Dr Andrew Schurer dan rekan-rekannya menggunakan model iklim untuk mencari tahu seperti apa cuaca tanpa letusan gunung berapi.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com