Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Kepala Basarnas, Inkonsistensi Kebijakan, dan Ironi Wacana Revisi UU TNI...

Kompas.com - 03/08/2023, 09:30 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kasus dugaan suap yang melibatkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) RI Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi menuai sorotan publik.

Pasalnya, penetapan tersangka Henri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian diprotes oleh TNI.

Menurut TNI, KPK tidak berhak menetapkan tersangka seorang prajurit aktif, dan hal ini semestinya menjadi kewenangan penyidik Polisi Militer (POM).

"Menurut kami, apa yang dilakukan KPK menetapkan personel militer sebagai tersangka menyalahi ketentuan," kata Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda R Agung Handoko, Jumat (28/7/2023).

Baca juga: Viral, Video Oknum Prajurit Tendang Ibu-ibu, Ternyata Anggota Kopasgat TNI AU

Usai diprotes TNI, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan permohonan maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.

Bahkan, ia secara tak langsung menyebutkan penyelidiknya khilaf sehingga melakukan tangkap tangan.

KPK pun menyerahkan kasus Kepala Basarnas itu ke Puspom TNI.

Baca juga: Pro Kontra Wacana Hukuman Mati bagi Koruptor...


Inkonsistensi Kebijakan

Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid menilai, polemik penetapan tersangka kepala Basarnas itu merupakan inkonsistensi kebijikan.

"Ini menghidupkan kembali status anggota TNI sebagai warga negara kelas satu dan merupakan wujud inkonsistensi kebijakan," kata Usman, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Senin (31/7/2023).

"Prajurit TNI aktif boleh duduk di jabatan sipil, tapi ketika korupsi tidak mau tunduk pada hukum sipil. Ini inkonsistensi kebijakan," sambungnya.

Baca juga: Ramai soal Warganet Penasaran Hukuman Disiplin di TNI, Apa Saja Jenisnya?

Usman menuturkan, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 47 ayat (1) sebenarnya telah dijelaskan bahwa jabatan sipil hanya bisa diduduki prajurit yang sudah pensiun atau mundur.

Akan tetapi, ayat (2) juga mengatur beberapa jabatan sipil yang bisa diisi oleh militer aktif.

Jabatan-jabatan itu terkait politik dan keamanan negara, pertahanan, sekretaris militer presiden, intelijen negara, dewan pertahanan nasional, lembaga ketahanan nasional, search and rescue (SAR), narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.

Sementara ayat (3) menyebutkan, prajurit yang menduduki jabatan tertentu di lembaga, termasuk Basarnas, wajib tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku.

"Karena Basarnas adalah lembaga sipil, maka kasus hukum yang menjerat pejabatnya seharusnya tunduk pada peradilan sipil," katanya lagi.

Baca juga: Ramai soal Video Mobil Pelat TNI AL Masuk Jalur Busway dalam Kondisi Mogok, Ini Penjelasan Dispenal

Halaman Berikutnya
Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com