SERANGAN konten pasukan siber kadang membuat jera, kapok para korbannya. Aspek jera itu bisa dikaitkan dengan metode serangan dengan materi informasi tendensius, pelecehan, dan intensitas tinggi.
“Serangan mematikan” pernah dialami oleh ekonom senior Indonesia sekaligus mantan menteri bidang ekonomi masa Presiden Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie.
Ketika menyampaikan pandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo, respons para influenser maupun buzzer mengejutkannya dan membuat dia terdiam, tidak berani bersikap kritis lagi terhadap rezim saat ini. Seperti diunggah dalam twitter miliknya pada 6 Februari 2021.
"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik-kritik tajam. tidak sekalipun ada masalah," tulis Kwik Kian Gie.
Survei Digital Civility Index/DCI terhadap 16.051 responden berusia 18-74 tahun di 32 negara pada 22 April - 15 Mei 2020 menunjukkan, indeks kesopanan digital (DCI) di Indonesia paling buruk se-Asia Pasifik pada 2020. Skornya mencapai 76 poin.
Baca artikel sebelumnya: Bahar dan Ruang Publik Acakadut!
Elemen terburuk yang paling besar adalah hoaks dan penipuan sebesar 47 persen, ujaran kebencian sebesar 27 persen, diskriminasi 13 persen (Microsoft.com, Februari 2021, dikutip dari https://databoks.katadata.co.id).
“Apa yang menjadikan dengungan dari media sosial begitu bising, memekakkan, dan membuat korban jantungan?” tanya Bahar kepada dosennya.
Serangan dalam bentuk trolling atau pelecehan dan laporan massal atau bertubi-tubi dan serempak menumbuhkan kesan sesuatu persoalan di-blow up secara masif.
Samantha Bradshaw,dkk dalam Computational Propaganda Research Project, 2020, menunjukkan, terdapat tujuh negara yang para pasukan sibernya menerapkan laporan konten dan akun secara massal, operasionalnya dikurasi oleh manusia maupun otomatis atau mesin.
Di luar metode serangan massal, strategi lain yang lebih banyak dipakai oleh 76 negara, mereka menerapkan disinformasi dan manipulasi media untuk menyesatkan pengguna, kemudian trolling terhadap kawan politik, jurnalis, dan orang-orang kritis (59 negara).
Kapasitas organisasi, anggaran, dan taktik propaganda menentukan berapa besar efektivitas serangan pasukan siber.
Di Indonesia dan negara-negara lain terdapat “pasukan siber” yang permanen dan temporer.
Pasukan temporer ini bekerja pada isu-isu penting tertentu, misalnya, momentum pemilihan umum atau momentum besar lainnya.
Sementara pasukan yang permanen bekerja sepanjang dipakai rutin oleh pengguna, di antaranya pemerintah dan partai politik.
Dalam pasukan disinformasi yang kuat dari segi dukungan dana dan organisasi, aspek laporan massal menjadi prioritas agar pola kerjanya cepat dan tepat sasaran.
Mengutip dokumen pemerintah Venezuela, 2018, yang bocor ke publik, Computational Propaganda Research Project, 2020 menunjukkan model kerja militer yang diterapkan kepada pasukan siber.
Baca artikel sebelumnya: Bahar dan Pasukan Siber
Setiap kru bisa mengelola 23 akun. Pasukan itu dibagi dalam sub-sub kelompok yang bervariasi dari sepuluh orang, 50 orang, 100 orang (battalion), dan 500 orang (brigade), yang bisa mengoperasikan 11.500 akun.
Kapasitas pasukan siber ditentukan oleh kekuatan penopang dana. Catatan dari riset itu, ada pengeluaran besar dari pemerintah tertentu untuk mendanai perusahan swasta sebagai operator propaganda.
Terdapat tiga kategori kapasitas pasukan siber: