DI DALAM kelas mata kuliah dialektika negara dan masyarakat sipil, terjadi dialog antara mahasiswa dan dosennya ketika membahas ruang publik.
Bahar, mahasiswa itu, mengekspresikan sikap marah ketika dosennya berbicara ruang publik sebagai arena ideal untuk menyuarakan hak-hak publik dan mediasi pengawasan kapitalis dan kekuasaan.
Faktanya, Bahar merasakan bagaimana dia terperosok ke labirin kelam dan menjadi pesakitan akibat menyuarakan kritik terhadap kelompok kepentingan dan antek-antek penyangga kekuasaan.
Bahar menceritakan bahwa dirinya sebagai aktivis pemberdayaan warga dan pendakwah.
Dalam membantu warga, dia mengaku sering berhadapan dengan aparat sipil dan non sipil di desanya.
Saat melihat pelayanan dan kepemimpinan aparat di luar ekspektasi warga, dia bersuara kritis.
Dosen bertanya kepada Bahar, “apa yang terjadi pada diri Anda saat mengkritisi mereka?”
Dengan geleng-geleng kepala, dia bergumam, ”Ah respons mereka di luar dugaan, Pak!”
“Maksudnya bagaimana? Coba Anda jelaskan,” pinta dosennya.
Dia merinci sedikitnya tiga elemen yang merespons kritiknya. Pertama, respons dari aparat sipil dan non sipil di desa.
Mereka mengumpan balik kritik Bahar dengan ekspresi marah secara verbal (bicara langsung, menelepon, mengirim tulisan melalui pesan pendek di WhatsAps dan media sosial).
Kedua, orang-orang di lingkaran kekuasaan aparat desa. Ada semacam nitizen dan buzzer.
Nitizen dari warga yang mendukung atau simpati pada kekuasaan aparat desa dan keamanan lokal.
Sementara buzzer sebagai pembentuk opini publik berbayar atau dikontrak oleh elemen kekuasaan di desa itu.
“Di manakah kamu menyampaikan kritik itu?” tanya dosen.
“Saya berbicara di lapangan terbuka dan gedung pertemuan kepada warga yang ikut dalam kelompok binaan di lembaga masyarakat sipil yang saya kelola. Kemudian saya bicara di forum-forum pengajian di pesantren yang saya pimpin. Warga dan santri itu bisa bertemu secara bersamaan atau pertemuan mereka terpisah. Isu-isunya tentang pelayanan publik, hak-hak warga, dan kadang mengkritisi aparatus sipil dan non sipil apabila mereka bermasalah dengan warga, atau genit dan overacting, serta bicara masalah yang tidak proporsional, misalnya mereka bicara soal agama padahal mereka bukan ahlinya," jawab dia.
Suatu hari, ada “santri” merekam kajian Bahar. Kemudian santri mengunggah ke media sosial di grup warga binaan, santri, dan Youtube.
Ketika unggahan itu dibaca dan dilihat publik, aparat marah ke Bahar. Mereka membantah telah bertindak tidak proporsional, tidak melayani secara memadai kepada publik.
Intinya mereka menolak konten kritik Bahar.
Para nitizen dan buzzer pro aparat membombardir Bahar dengan narasi-narasi tendensius dan mengopinikan bahwa Bahar telah menebar hoax, menyebar opini penistaan dan menghujat kekuasaan.