Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mukhijab
Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Bahar dan Ruang Publik Acakadut!

Kompas.com - 10/01/2022, 10:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI DALAM kelas mata kuliah dialektika negara dan masyarakat sipil, terjadi dialog antara mahasiswa dan dosennya ketika membahas ruang publik.

Bahar, mahasiswa itu, mengekspresikan sikap marah ketika dosennya berbicara ruang publik sebagai arena ideal untuk menyuarakan hak-hak publik dan mediasi pengawasan kapitalis dan kekuasaan.

Faktanya, Bahar merasakan bagaimana dia terperosok ke labirin kelam dan menjadi pesakitan akibat menyuarakan kritik terhadap kelompok kepentingan dan antek-antek penyangga kekuasaan.

Bahar menceritakan bahwa dirinya sebagai aktivis pemberdayaan warga dan pendakwah.

Dalam membantu warga, dia mengaku sering berhadapan dengan aparat sipil dan non sipil di desanya.

Saat melihat pelayanan dan kepemimpinan aparat di luar ekspektasi warga, dia bersuara kritis.

Dosen bertanya kepada Bahar, “apa yang terjadi pada diri Anda saat mengkritisi mereka?”

Dengan geleng-geleng kepala, dia bergumam, ”Ah respons mereka di luar dugaan, Pak!”

“Maksudnya bagaimana? Coba Anda jelaskan,” pinta dosennya.

Dia merinci sedikitnya tiga elemen yang merespons kritiknya. Pertama, respons dari aparat sipil dan non sipil di desa.

Mereka mengumpan balik kritik Bahar dengan ekspresi marah secara verbal (bicara langsung, menelepon, mengirim tulisan melalui pesan pendek di WhatsAps dan media sosial).

Kedua, orang-orang di lingkaran kekuasaan aparat desa. Ada semacam nitizen dan buzzer.

Nitizen dari warga yang mendukung atau simpati pada kekuasaan aparat desa dan keamanan lokal.

Sementara buzzer sebagai pembentuk opini publik berbayar atau dikontrak oleh elemen kekuasaan di desa itu.

“Di manakah kamu menyampaikan kritik itu?” tanya dosen.

“Saya berbicara di lapangan terbuka dan gedung pertemuan kepada warga yang ikut dalam kelompok binaan di lembaga masyarakat sipil yang saya kelola. Kemudian saya bicara di forum-forum pengajian di pesantren yang saya pimpin. Warga dan santri itu bisa bertemu secara bersamaan atau pertemuan mereka terpisah. Isu-isunya tentang pelayanan publik, hak-hak warga, dan kadang mengkritisi aparatus sipil dan non sipil apabila mereka bermasalah dengan warga, atau genit dan overacting, serta bicara masalah yang tidak proporsional, misalnya mereka bicara soal agama padahal mereka bukan ahlinya," jawab dia.

Suatu hari, ada “santri” merekam kajian Bahar. Kemudian santri mengunggah ke media sosial di grup warga binaan, santri, dan Youtube.

Ketika unggahan itu dibaca dan dilihat publik, aparat marah ke Bahar. Mereka membantah telah bertindak tidak proporsional, tidak melayani secara memadai kepada publik.

Intinya mereka menolak konten kritik Bahar.

Para nitizen dan buzzer pro aparat membombardir Bahar dengan narasi-narasi tendensius dan mengopinikan bahwa Bahar telah menebar hoax, menyebar opini penistaan dan menghujat kekuasaan.

Sebagian dari anggota korps yang disentil Bahar, mendatangi lokasi Bahar berdialog dengan warga binaan dan pesantren.

Puncaknya, orang-orang kepercayaan aparat desa melaporkan Bahar ke pihak kepolisian agar Bahar diproses hukum.

Bahar tampak frustasi dengan perilaku apparatus sipil dan non sipil di desanya.

Dia memertanyakan, apakah berbicara kritis soal hak-hak warga, perilaku aparat yang tidak sesuai ekspektasi warga, yang tidak proporsional? Apakah itu aksi yang terlarang dalam sistem demokrasi? Mengapa kritik diganjar menjadi pesakitan?”

Sang dosen mencoba membuka lebih cakrawala berpikir Bahar, dengan menceritakan model ruang publik.

Dalam pespektif Habermas, kata dosen, ruang publik itu terdapat dua model.

Pertama ruang publik yang steril, proporsional, tidak dikooptasi oleh pasar, dan kekuasaan, dan kedua, ruang publik yang dikooptasi oleh kekuasaan.

Ruang publik ideal, menggunakan kalimat Budi Hardiman (2009a, 2009b), sebagai ruang yang dibentuk warga, bisa diakses oleh semua warga, atau bersifat inklusif, sebagai locus kewarganegaraan dan keadaban publik, yang saling respek terhadap hak masing-masing.

Dalam arti normatif, ruang publik itu menjadi ruang politis, arena aktualisasi warga dalam partisipasi demokrasi, yang di dalamnya aktor-aktor dari dalam ruang publik (otokhton) bersama warga menumbuhkan solidaritas, perlawanan terhadap pasar (kapitalis) dan kuasa (birokrasi, apparatus sipil dan militer yang abuse of power), untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan.

Sedangkan ruang publik yang terkooptasi oleh kekuasaan, awalnya dibentuk oleh warga.

Ketika proses komunikasi berjalan di dalamnya, terjadi intervensi-intervensi oleh elite-elite dominan yang menjadi representasi pasar maupun kuasa.

Para aktor yang berkiprah di dalamnya bukan sosok original dari dalam komunitas warga atau bukan otokhton melainkan aktor-aktor ‘pemakai’ ruang publik, aktor-aktor yang “diimpor” dari arena-arena yang justru menjadi sasaran diawasi oleh publik seperti partai politik, asosiasi-asosiasi dagang, ruang-ruang birokrasi dan kekuasaan.

Mendengar ocehan dosennya, Bahar memotong pembicaraan dengan nada tinggi, ”Saya bicara di ranah publik, bersama warga, menyuarakan hak-hak warga, mengkritik keserakahan para pemilik modal, kegenitan elite-elite kekuasaan, dan apparatus non sipil, yang melukai hak-hak dan keyakinan (agama) warga, mengapa pembicaraan seputar hak publik itu dipersoalkan? Mengapa kapasitas dan kapabilitas saya dipertanyakan? Yang mengenaskan, mengapa para aktor kekuasaan menjadikan saya sebagai pesakitan? Di mana ruang publik yang Anda kategorikan ideal itu, yang menjamin kebebasan berekspresi dan memihak warga?”

Sang dosen terkesiap melihat sikap Bahar, dan menyampaikan ruang ideal yang Anda bayangkan itu telah “dimanipulasi” oleh teknologi informasi berbasis internet dan para publicist yang berpihak pada elite kekuasaan sipil dan non sipil desa Bahar.

Mereka bertindak atas nama mandat semu dari elite politik, dan itu demi keuntungan finansial. Siapa mereka? Seperti nitizen, dan buzzer pro kekuasaan.

Ruang publik ideal itu dalam konsep awal merupakan ruang warga dalam bentuk konvensional. Pembicaraan mereka hanya didengarkan oleh warga.

Apabila terdapat persoalan warga yang perlu mendapat intervensi pasar atau kekuasaan, maka mereka melakukan semacam public hearing, mengajar representasi pasar, atau kekuasaan, yang diperlukan sesuai konteks persoalan, dan forum itu sebagai ajang menyampaikan aspirasi.

Ruang publik konvensional demikian menjunjung tinggi hak dan harkat warga untuk berbicara di depan aktor-aktor pasar dan kekuasaan.

“Anda berbicara dalam ruang konvensional itu saudara Bahar. Tetapi ruang publik yang Anda gunakan, mengalami sentuhan-sentuhan teknologi dan dimediasi oleh media sosial, dikemas ulang atau direproduksi oleh publicist dari ruang kekuasaan sebagai alat mendistorsi demokrasi,” ujar sang dosen.

Bahar penasaran, “mengapa ruang publik di mana saya berwacana menjadi masuk angin begitu? Siapa yang membajak ruang itu.”

Sang dosen menjelaskan, pada saat ruang publik mendapat sentuhan teknologi informasi, dan masuk ke dalam medium-medium publik yang berbasis jejaring internet (media online, media sosial) terjadi pergeseran nilai-nilai konten tentang isu-isu hak publik.

Aktor-aktor yang menyeleksi isu tentang hak publik, terpolarisasi berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi.

Isu substansial soal hak-hak warga yang digagas dan didiskusikan Bahar bersama warga, ditolak oleh para publicist dari ruang kekuasaan, dan mereka juga mendelegitimasi aspirasi publik menggunakan dasar nilai-nilai politik sesuai regulasi kepentingan relasi kuasa.

Mereka mendistori persoalan-persoalan publik yang tidak sesuai dengan kepentingan kekuasaan atau suara-suara warga yang menyinggung “kehormatan” kekuasaan sebagai hoax, ujaran kebencian, dan sebutan tendensius lainnya.

Strategi desiminasi “serangan balik” itu lebih cepat dan masif serta efektif karena media sosial premium (berbayar) yang mereka gunakan.

Mereka bertindak atas nama cyber troops atau pasukan siber sipil yang terorganisasi, yang bergerak sebagai pasukan kekuasaan di dunia maya, yang melumat para otokhan karena mereka dikategorikan sebagai musuh kekuasaan dan kapitalis.

Sentuhan-sentuhan tangan begundal kekuasaan yang bergerak di ruang maya itu, baik berbasis institusi sipil maupun non sipil, berbasis perusahaan siber sipil maupun berbasis institusi negara.

Mendasarkan “ideologi politik dan ekonomi” yang di-support oleh rezim yang berkuasa, mereka mengacak-acak ruang publik konvensional maupun modern.

Ruang publik dan isu-isu yang legitimasi berasal dari wacana yang dibingkai oleh kekuasaan dan diproduksi oleh para nitizen dan buzzer kekuasaan.

Jungkir balik refungsionalisasi ruang warga itu menjadikan ruang publik menjadi acakadut kondisinya.

“Kalau begitu, apakah ruang publik politis telah mati?” tanya Bahar.

Sang dosen tidak setuju dengan istilah “ruang publik mati”.

Menggunakan istilah Herry Priyono, sang dosen menyebut ruang piblik kontemporer di Indonesia mengalami pingsan karena diirasuki oleh intervensi dan gambaran nilai-nilai kuasa yang monolitik dalam masyarakat, dan gagasan politik yang terpusat pada lembaga-lembaga negara (Hardiman, 2009b, 369).

Ironisnya, monolitisasi kekuasaan politik negara dalam ruang publik itu direkayasa oleh representasi institusi negara tertentu.

Kemudian rekayasa itu dilakukan oleh warga sipil yang menjadi citizen dan buzzer pro kekuasaan (Sastramidjaja et al., 2021).

“Apakah kita harus perang melawan tentara siber bayaran itu?“ tanya Bahar.

Namun, pertanyaannya tidak dijawab oleh dosen karena waktu kuliah telah habis. Dosen menjanjikan membahas diskusi soal ini pada kuliah berikutnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com