Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.

Pro-Kontra Anugerah Nobel

Kompas.com - 10/01/2022, 10:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MIRIP anugerah MURI, ternyata anugerah Nobel juga tidak atau minimal sulit bisa lepas dari pro-kontra mengenai layak-tidaknya sang penerima menerima anugerah penghargaan.

Nisbi

Kenisbian memang melekat pada penghargaan. Terhadap hal yang tidak bisa diukur, maka MURI membatasi diri hanya memberikan anugerah bagi kepalingan yang bisa diukur.

Semisal paling panjang, paling pendek, paling besar, paling kecil, paling ringan, paling berat, paling cepat, paling lambat serta paling pertama.

Maka rekor MURI untuk Bung Karno sebagai presiden pertama Republik Indonesia atau Ibu Mega sebagai perempuan pertama yang menjadi presiden Republik Indonesia atau Mbak Puan sebagai perempuan pertama berperan sebagai Ketua Umum Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia kekal abadi sampai akhir jaman.

Kecuali ada yang mampu dan mau membuktikan ada yang lebih pertama.

Mahakarya

Pada hakikatnya sifat anugerah MURI dan Nobel beda dalam hal kaidah ukuran.

Beda dari MURI, sifat anugerah Nobel justru terbatas pada hal yang nisbi akibat tidak bisa diukur seperti mahakarya sains mau pun sastra disusul dengan politik dengan kedok istilah “perdamaian”.

Maka dua perihal melekat pada anugerah Nobel. Pertama pasti rawan menimbulkan pro dan kontra.

Mahakarya sains mustahil dikatakan bahwa mahakarya sains yang ini lebih hebat, maka lebih layak ketimbang mahakarya sains yang itu memperoleh anugerah Nobel.

Kenisbian juga melekat pada anugerah Nobel untuk sastra. Akibat kesadaran terhadap kenisbian tersebut, maka Jean Paul Sartre menolak anugerah Nobel untuk dirinya sendiri.

Ibu Teresa juga semula menolak anugerah Nobel, namun setelah dirayu berbagai pihak demi mendongkrak citra kemanusiaan yang memang sudah merosot di planet bumi ini, maka akhirnya dengan berat hati beliau menerima.

Sementara Pramudya Ananta Toer batal memperoleh anugerah Nobel akibat penguasa Orba di Indonesia protes keras jika tokoh yang dicap komunis ini sampai memperoleh anugerah Nobel.

Secara subyektif saya tidak setuju Aung San Suu Kyi dan Barrack Obama memperoleh anugerah Nobel apalagi untuk perdamaian.

Alasannya tentu saja subyektif, maka pasti ditentang oleh pendapat subyektif para pemuja ASSK dan BO.

Akibat pendapat niscaya terkait selera, maka berdebat tentang selera mana yang terbaik sama muskilnya dengan pertanyaan tentang agama mana yang terbaik. Jawabannya pasti subyektif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com