Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Negara Dituding Sepelekan Kasus Novel...

Kompas.com - 12/06/2020, 15:02 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tuntutan satu tahun penjara yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dua terdakwa penyiram air keras Novel Baswedan mendapatkan reaksi beragam di tengah masyarakat.

Banyak yang menilai tuntutan JPU tersebut terlalu ringan, dan membandingkan kasus tersebut dengan kasus penyiraman air keras di sejumlah daerah lain.

Semisal kasus di PN Denpasar yang dituntut 3,5 tahun, kasus di PN Bengkulu yang dituntut 10 tahun hingga kasus di PN Pekalongan yang dituntut 10 tahun, seperti diungkapkan oleh Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman seperti diberitakan Kompas.com (12/6/2020).

Baca juga: Disebut Pengkhianat oleh Pelaku, Ini Kasus Korupsi Kepolisian yang Pernah Ditangani Novel Baswedan

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai tuntutan terdakwa pelaku penyiraman Novel yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis tersebut terlalu ringan dan menunjukkan separuh hati pemerintah, khususnya kepolisian dan kejaksaan dalam mengusut kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.

Selain itu, menurutnya negara tampak tidak serius menangani kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan.

"Tuntutan yang hanya 1 tahun penjara itu memperlihatkan jika negara menyepelekan kasus Novel," ujar Usman saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/6/2020).

Usman mengungkapkan, jaksa yang bertugas mewakili negara untuk menuntut pelaku penyerang terhadap Novel, memang sejak awal tak yakin siapa pelakunya.

Baca juga: Pelakunya Tertangkap, Berikut Perjalanan Kasus Novel Baswedan sejak 2017

Keadilan hukum yang sesat

Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nzANTARA FOTO/Aprillio Akbar Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz

Usman menambahkan, penuntutan semacam ini hanya akan berpotensi menjadi keadilan hukum yang sesat atau miscarriage of justice.

Terlebih, menurutnya kasus Novel ini merupakan satu simbol dari masalah struktural korupsi di Indonesia.

Namun, hal itu justru tidak sejalan dengan pengusutan kasus penyiraman air keras terhadapnya yang dirasa lemah.

"Proses hukum yang lemah atas kasusnya mencerminkan kuatnya kekuatan yang anti hak asasi manusia seorang Novel, anti lembaga seperti KPK, anti agenda pemberantasan korupsi dan anti semangat reformasi," ungkapnya.

Baca juga: Beragam Respons soal Penangkapan Penyerang Novel Baswedan...

Alami kemunduran

Penyidik KPK Novel Baswedan menyapa awak media usai rekonstruksi kasus penyiraman air keras terhadap dirinya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (7/2/2020). Novel Baswedan tidak mengikuti proses rekonstruksi karena alasan kesehatan mata kirinya. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto Penyidik KPK Novel Baswedan menyapa awak media usai rekonstruksi kasus penyiraman air keras terhadap dirinya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (7/2/2020). Novel Baswedan tidak mengikuti proses rekonstruksi karena alasan kesehatan mata kirinya. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.

Usman berpandangan, penanganan kasus Novel juga menjadi cermin bahwa penindakan kasus hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami kemunduran.

Menurutnya tuntutan yang rendah terhadap penyerang Novel Baswedan jelas mencederai rasa keadilan di negara ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com