Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Keping Oreo Supreme dan Modal Simbolik Pembelinya...

Kompas.com - 15/05/2020, 20:00 WIB
Mela Arnani,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Oreo Supreme tengah menjadi perbincangan karena harganya yang "super" untuk sebungkus biskuit.

Sejumlah Youtuber terkenal memang me-review biskuit Oreo berwarna merah tersebut.

Di sebuah marketplace di Indonesia, untuk sebungkus Oreo Supreme berisi tiga keping biskuit dibanderol dengan harga beragam, rata-rata hampir Rp 600.000.

Ternyata, ada juga yang membelinya.

Oreo Supreme yang dijual oleh sejumlah penjual di salah satu marketplace di Indonesia.Shopee Oreo Supreme yang dijual oleh sejumlah penjual di salah satu marketplace di Indonesia.
Meski harganya "selangit", makanan yang saat ini populer tersebut tetap dicari dan dibeli konsumen.

Disebutkan, ada pembeli yang rela mengeluarkan uang sebesar 1.250 dollar AS atau setara 18,6 juta untuk 12 keping biskuit Supreme Oreo.

Mengapa mereka mau merogoh kocek dalam untuk biskuit ini?

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Drajat Tri Kartono mengatakan, merk Supreme dari Amerika Serikat telah sukses membuat ikonnya menjadi suatu identitas populer.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Oreo Supreme, Harganya hingga Budaya Hypebeast...

Kolaborasi dengan Oreo bukan pada fungsi makanan, tetapi lebih karena image dan reputasi.

Dalam Ilmu Soiologi, kata dia, disebut modal simbolik.

"Jadi kalau saya makan itu, maka saya mendapatkan simbol, saya mendapatkan penghargaan, saya diakui sebagai bagian dari budaya populer dan budaya yang waktu itu lagi tren," kata Drajat, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (15/5/2020).

Drajat menilai, produk tersebut akan semakin booming karena adanya media sosial.

"Ini kemudian dipercepat luar biasa, dengan adanya media sosial, dengan adanya iklan-iklan TV dan sebagainya," kata Drajat.

Penyeragaman rasa dan selera

Alasan mengapa ada orang yang mau membeli biskuit dengan harga "selangit", menurut Drajat, hal ini merupakan karakter masyarakat konsumsi.

"Jadi, di dalam teori konsumsi itu, ini memang sebuah rekayasa kapitalis," kata dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com