Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tumpek Wayang, Hari Baik untuk Penyucian dan Pemuliaan Alam Semesta

Kompas.com - 30/04/2024, 13:00 WIB
Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tumpek Wayang merupakan satu dari enam tumpek yang dirayakan oleh umat Hindu di Bali.

Tumpek Wayang jatuh pada hari Saniscara atau Sabtu Kliwon wuku Wayang, yang datang setiap 210 hari.

Upacara pemujaan pada saat Tumpek Wayang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara, yang berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan kehidupan di dunia, serta membangkitkan daya seni dan keindahan.

Hari suci ini juga dianggap keramat dan menjadi kesempatan untuk melakukan peruwatan atau penyucian bagi mereka yang lahir pada wuku Wayang.

Baca juga: 6 Tumpek dalam Tradisi Masyarakat Hindu Bali

Tradisi Tumpek Wayang

Tumpek Wayang adalah hari pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara, yang berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan kehidupan di dunia, serta membangkitkan daya seni dan keindahan.

Oleh sebab itu, Tumpek Wayang juga dimaknai sebagai hari kesenian, karena hari itu secara ritual diupacarai (kelahiran) berbagai jenis benda seni dan kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng, dan segala jenis gamelan.

Oleh masyarakat Bali, Tumpek Wayang dianggap keramat.

Melansir denut.denpasarkota.go.id, orang Bali pada zaman dulu melarang anak-anaknya berkeliaran ke luar rumah sejak sehari sebelumnya, karena adanya sebuah mitos yang diceritakan turun-temurun.

Cerita tersebut juga termuat dalam lontar Kala Tattwa, yang menyebutkan jika seorang anak yang lahir tepat pada wuku Wayang, khususnya pada Sabtu wuku Wayang, maka akan menjadi santapan Bhuta Kala.

Dikisahkan Rare Kumara ingin dimakan oleh Batara Kala karena lahir bertepatan dengan wuku Wayang.

Baca juga: Tumpek Landep, Hari Suci untuk Mengasah Ketajaman Pikiran

Pada akhirnya dibuat sebuah kesepakatan, bila seseorang lahir pada wuku Wayang dan telah diupacarai dengan Wayang Sapuh Leger, maka Batara Kala tidak boleh mencoba mengganggu, mengusik, apalagi membunuhnya.

Dari situlah, umat Hindu Bali percaya bahwa anak-anak yang lahir pada wuku Wayang harus dilukat atau diruwat dengan Tirta Wayang Sapuh Leger.

Kata "sapuh" memiliki makna peruwatan, sementara "leger" mengacu pada mala atau kotoran yang melekat pada diri manusia.

Dengan demikian, "sapuh leger" menggambarkan upaya pembersihan atau peruwatan atas kotoran atau mara bahaya.

Salah satu prosesi pada saat pertunjukan Wayang Sapuh Leger adalah aktivitas pembuatan air suci yang dilakukan oleh Mangku Dalang setelah pementasan wayang berakhir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com