PERTANYAAN tentang sifat dan karakter manusia mengusik perbincangan para pemikir Eropa abad 16 dan 17.
Pada dasarnya apakah manusia itu baik atau buruk? Apakah manusia itu aslinya jahat atau mulia? Jika dibiarkan saja, manusia akan berbuat amal atau dosa?
Bagi John Locke (1632-1704), manusia itu dasarnya bersih, setara antarmanusia, dan netral sejak lahir.
Manusia itu putih, sebutnya tabularasa. Kejahatan atau kebaikan akan datang kemudian setelah dipengaruhi masyarakat, lingkungan, dan pergaulan-pergaulan.
Kehidupan manusia selanjutnya yang akan mengisi moral, watak, dan perilakunya. Makanya pentingnya pendidikan untuk membentuk semua itu. Pendidikan akan membentuk dan mengendalikan siapa manusia itu. Manusia butuh pendidikan.
Sebaliknya kekhawatiran tentang sifat jahat manusia bisa dilihat dari tulisan Thomas Hobbes (1588-1679). Dia banyak mengungkap sisi gelap manusia dalam karyanya, Leviathan.
Karya yang tebal dan bagian pertama mengupas siapa itu manusia. Manusia tak lebih dari binatang, karena pada dasarnya manusia bagian dari spesies ini. Watak buruk manusia itu memang dari asalnya.
Dalam tradisi Muslim, Ibn Khaldun (1332-1406) juga mengungkap bahwa manusia tak lebih dari binatang yang berakal (hayawan natiq).
Bahasa Darwinnya, manusia adalah evolusi dari binatang. Manusia secara anatomi juga tak beda jauh dengan hewan-hewan lainnya.
Marga manusia juga masih dekat dengan marga kera, simpanse, bonobo, gorilla, dan orang hutan. Manusia hanya sedikit berbeda dari mereka, beruntung.
Manusia beruntung berevolusi menjadi saat ini, bisa berpikir, berakal, berbahasa, berbudaya, dan bersosial.
Para filosof dan sufi Muslim juga sering mengingatkan tentang dasar sifat kebinatangan manusia, seperti al-Ghazali (1111).
Hati-hati dengan karakter jahatnya manusia yang ada dalam setiap diri kita. Nafsu angkara murka, dengki, iri, agresif, dan saling menjatuhkan.
Hati-hati dengan sifat lupanya manusia pada tugasnya, melebihi batas, lupa diri, tamak dan serakah.
Tasawuf ini juga banyak diteruskan tradisi Nusantara. Sayangnya, saat ini kita lebih menekankan ilmu syariah dan fiqh (hukum) yang sifatnya lahiriyah, bukan budi pekerti dan kontemplasi. Kita butuh banyak ilmu batin, ruh, dan budi pekerti.