EMPAT tokoh dalam punokawan, temuan dan ramuan asli Nusantara. Tokoh empat itu adalah bid’ah nyata, tidak ada dalam cerita teks Mahabarata asal India.
Kisah aslinya menceritakan perseteruan antara Kurawa dan Pandawa, seratus bersaudara yang arogan menindas lima saudara yang sederhana dan penuh penderitaan. Drama, tragedi, dan kisah pilu dalam politik, sosial, dan agama dalam buku tebal.
Kisah itu sangat pas dan enak dibaca ulang di negeri kepulauan ini. Punokawan adalah bumbunya. Dengan hadirnya Punokawan, Mahabarata jauh lebih hidup.
Yang tertinggi adalah Petruk, dengan rambut kuncir, kakinya panjang, jalannya gontai. Petruk tidak lucu, selorohnya serius. Kadang bijak, sering diam, memendam ambisi yang mengejutkan.
Tokoh Punokawan kedua adalah Gareng. Dia agak sedikit pendek, walau masih kurus. Gareng dijadikan bahan tertawaan oleh saudaranya Petruk dan Bagong. Walaupun dia anak pertama.
Anak kedua Petruk tampaknya lebih mempunyai otoritas persaudaraan di antara ketiganya, walaupun Petruk juga sering bertingkah aneh dan lucu.
Bagong paling pendek, gemuk, banyak tidak pahamnya. Dia termuda tampaknya, tapi juga paling lugu. Karena sering tidak paham persoalan yang dihadapinya, hidupnya lebih tenang.
Lebih baik tidak paham memang, daripada tahu seluk beluk persoalan tapi selalu kalah, atau tidak bisa memecahkan ataupun mencari solusi.
Ketidakpahaman sering menyelamatkan dan menenangkan jiwa. Paham persoalan malah sering membuat gelisah dan gusar. Bagong beruntung tidak tahun menahu musibah yang sesungguhnya. Aman.
Sang Ayah Semar yang gemuk, bundar, suara serak dan dalam, seringkali kata-kata bijak keluar dari mulutnya.
Semar banyak menjadi simbol spiritual kelompok-kelompok keagamaan di Jawa. Semar selalu momong yang lain, bahkan para satria Pandawa, tetapi tetap bergaya rakyat biasa.
Semar konon turun langsung dari kahyangan, alam para dewa. Semar sering dianggap jelmaan dari salah satu dewa yang turun menjadi manusia. Para Betara dan Dewa hormat pada Semar.
Punokawan ini diceritakan berkali-kali dalam tradisi wayang Nusantara. Setiap dalang mempunyai kisah lain. Lelucon yang dibuat juga berbeda-beda. Guyonan itu disebut goro-goro, guyonan menyentil masalah.
Namun justru cerita goro-goro tentang empat orang ini, Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong jauh lebih menyentuh kenyataan daripada kisah para satria Pandawa dan Kurawa.
Kisah Pandawa sering dijadikan pelampiasan para tokoh kita untuk menjadikan dirinya bak Arjuna, sang pemanah ganteng, memesona dan banyak menggaet lawan jenis.