Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prasasti Harinjing, Asal-usul Hari Jadi Kediri

Kompas.com - 02/01/2023, 12:00 WIB
Widya Lestari Ningsih

Penulis

KOMPAS.com - Prasasti Harinjing merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang ditemukan di Kediri, Jawa Timur.

Lokasi penemuan prasasti ini berada di daerah perkebunan di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri.

Isi Prasasti Harinjing begitu penting bagi sejarah Kediri, bahkan dijadikan patokan menentukan Hari Jadi Kediri yang jatuh pada setiap 25 Maret.

Saat ini, Prasasti Harinjing menjadi salah satu koleksi Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D173.

Berikut isi Prasasti Harinjing.

Baca juga: Isi Prasasti Hering, Ungkap Nama Asal Tiga Desa di Nganjuk

Isi Prasasti Harinjing

Prasasti Harinjing terbuat dari batu andesit berukuran panjang 75 cm, lebar 26 cm, dan tinggi 117 cm.

Isi prasasti ini ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno, yang terpahat pada hampir setiap sisinya.

Prasasti Harinjing memuat tiga bagian cerita dari tahun berbeda, tetapi masih terkait pada satu peristiwa yang sama.

Bagian depan prasasti atau disebut Prasasti Harinjing A berisi salinan dengan banyak kekeliruan.

Misalnya angka tahun yang tertulis 706 Saka, padahal seharusnya 11 Suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi).

Baca juga: Prasasti Anjuk Ladang, Asal Muasal Nama Nganjuk

Disebutkan bahwa tahun itu seorang pendeta dari wilayah Culanggi yang bernama Bhagawanta Dhari, memperoleh hak sima (daerah otonom yang bebas pajak) atas daerahnya karena telah berjasa membuat saluran sungai bernama Harinjing.

Bagian belakang prasasti atau disebut Prasasti Harijing B, menyebut Sri Maharaja Rakai Dyah Tulodhong pada 15 Suklapaksa bulan Asuji tahun 843 Saka (19 September 921 Masehi) mengakui hak-hak para pendeta di Culanggi karena mereka masih tetap memelihara saluran Harinjing.

Sri Maharaja Rakai Dyah Tulodhong dikenal sebagai raja Mataram Kuno yang berkuasa antara 919-925.

Isi Prasasti Harinjing C menyebutkan bahwa pada tahun 849 Saka atau 7 Maret 927 Masehi, anak Bhagawanta Dhari memperlihatkan anugerah dari seorang raja yang meninggal di Twak.

Anugerah yang dimaksud adalah bahwa hak-hak daerahnya tetap diakui meski raja telah meninggal.

Baca juga: Prasasti Cane dan Riwayat Desa Tertua di Lamongan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com