KOMPAS.com - Ritual atau tradisi Sati merupakan sebuah rangkaian dalam upacara kremasi yang berasal India.
Upacara Sati dilakukan ketika seorang suami meninggal. Para istrinya akan ikut dibakar hidup-hidup.
Ritual Sati sampai di Indonesia bebarengan dengan masuknya pengaruh Hindu dari India di abad ke-4.
Namun, ritual Sati resmi dihapuskan seiring kolonialisme bangsa Eropa di wilayah Asia, khususnya India dan Indonesia.
Tidak diketahui secara pasti kapan ritual sati mulai dipraktikkan, namun beberapa riwayat menjelaskan bahwa ritual ini populer di era Kerajaan Gupta (320-550) di India Utara.
Hal itu dibuktikan dengan kisah-kisah Mahabharata dan prasasti batu yang mengisahkan ritual Sati.
Umumnya di era itu yang menggelar tradisi Sati adalah anggota kerajaan dan orang-orang dari kasta Brahmana.
Diyakini perempuan pertama yang melakukan Sati adalah Dewi Sati, salah satu dari istri Dewa Siwa.
Ritual ini dianggap mulia, dan menjadi kewajiban seorang istri yang baik dan setia. Sang istri akan ikut dikremasi bersama suaminya demi menghapus dosa-dosa mereka dan keluarga mereka.
Sati yang dilakukan secara massal disebut sebagai Jauhar. Jauhar dilakukan para Rajput atau keluarga dari kasta Ksatria ketika sang prajurit kalah perang. Mereka membunuh dirinya untuk menghindari rasa malu dan ditawan oleh musuh.
Ritual Sati ini juga berkembang di wilayah Indonesia bersamaan dengan penyebaran agama Hindu.
Namun, tidak diketahui secara pasti awal mula Sati dipraktikkan di kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia.
Tome Pires, penjelajah asal Portugis mencatat bahwa Sati merupakan tradisi yang normal dipraktikan di lingkungan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur dan Bali.
Selain itu, Pires mencatat bahwa bangsawan Bali yang meninggal dunia juga mengorbankan para budaknya dalam ritual Sati.
Cornelis de Houtman juga mencatat ketika ia mendarat di Bali pada tahun 1597, ia mendengar cerita tentang 50 istri bangsawan Bali yang dibakar hidup-hidup bersamaan dengan jasad suaminya.