KOMPAS.com - Pada masa kolonial, arsitektur di Indonesia didominasi dengan karya arsitek dari Belanda.
Masa kolonial telah menciptakan gambaran baru pada peta arsitektur Indonesia.
Gaya arsitektur tradisional dengan kesan etnik yang sebelumnya ada di Indonesia, mulai tergeser seiring datangnya bangsa penjajah yang juga membawa pengaruh di bidang arsitektur.
Bentuk arsitektur asli Indonesia kembali muncul dengan lahirnya institusi arsitektur pada era setelah kemerdekaan.
Sejak saat itu hingga sekarang, arsitektur berkembang melalui praktik arsitektur pada bangunan kontemporer Indonesia dan juga proses akademik di sekolah.
Baca juga: Siapakah Arsitek Candi Borobudur?
Pada masa penjajahan Belanda, ilmu arsitektur diajarkan sebagai bagian dari pendidikan insinyur sipil.
Disiplin ilmu arsitektur baru berdiri sendiri sejak adanya sekolah arsitektur pertama di Bandung Technische Hoogeschool atau Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Oktober 1950.
Sekolah arsitektur tersebut awalnya hanya mempunyai 20 mahasiswa dan tiga pengajar berkebangsaan Belanda.
Para pengajar saat itu meniru sistem pendidikan dari tempat asal mereka, yaitu Universitas Teknologi Delft di Belanda.
Saat itu, pendidikan arsitektur di ITB mempelajari penguasaan keahlian merancang bangunan dengan acuan yang terbatas, yaitu iklim, fungsi, bahan bangunan, dan konstruksi.
Baca juga: Gaya Arsitektur Bangunan Masjid di Indonesia
Pada 1955, di tengah sengketa Irian Barat, semua pengajar dari Belanda dipulangkan ke negaranya. Namun, VR van Romondt bersikeras untuk tetap tinggal di Indonesia.
Romondt menjadi pemimpin dari sekolah arsitektur di Indonesia hingga 1962.
Perbedaan konsep arsitektur Barat dengan Indonesia terletak pada korelasi antara bangunan dengan manusianya.
Arsitektur Barat adalah suatu totalitas konstruksi, sementara di Indonesia lebih bersifat subyektif yang lebih melihat bangunan dari penampilan luarnya.