Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yunanto Wiji Utomo
Penulis Sains

Science writer. Manager of Visual Interaktif Kompas (VIK). Chevening Scholar and Co-Founder of Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).

Punan Batu dan Narasi Alternatif tentang Sains untuk Anak-anak Kita

Kompas.com - Diperbarui 10/08/2023, 10:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KAPAN terakhir kali Anda membacakan buku ilmu pengetahuan untuk anak-anak? Apa temanya?

Sangat sering dijumpai, cerita anak-anak berpusat pada penemuan-penemuan besar dan sosok di belakangnya. Albert Einstein dan teori relativitas, Watson-Crick tentang struktur DNA, Isaac Newton tentang gravitasi, dan lainnya.

Tentu tak ada yang salah dengan menceritakan mereka. Hanya saja, kerap kali narasi dalam buku anak adalah sebagai berikut: satu sosok berusaha dengan tekun, mendobrak keterbatasan lalu berakhir dengan penemuan besar yang menyejahterakan umat manusia.

Sains memang mendobrak keterbatasan. Tapi tak sesederhana itu. Perjalanan sains kerap kali tidak linear. Satu gagasan bisa berujung pada kegagalan dalam tahap pembuktian. Satu penemuan belum tentu menyejahterakan.

Bisa jadi, ada dampak sains-baik maupun buruk-yang terlihat ketika tujuan akhirnya sendiri belum tercapai. Contoh, pencarian partikel Higgs boson turut mendorong lahirnya internet.

Internet sendiri telah dinikmati banyak orang sejak 1990-an, sementara Higgs boson baru dikonfirmasi pada 2012.

Internet bukan sesuatu yang dirancang ketika riset pencarian "partikel tuhan" itu dimulai. Cerita yang hanya fokus pada terobosan bisa bermasalah.

Masalah yang muncul karenanya sedikit banyak bisa kita lihat sekarang. Negarawan baru menghargai ilmuwan ketika temuan dan publikasinya wow dan banyak.

Sejumlah akademisi dan ilmuwan juga fokus mengejar terobosan dan publikasi meski kadang harus melupakan etika.

Mei lalu, saya bertemu Punan Batu, salah satu pemburu dan peramu terakhir di muka Bumi.
Saya mendengar banyak cerita tentang hutan. Soal Layis, anak muda yang ingin belajar hukum agar sukunya tak gampang dibodohi.

Akim Bodon soal kenikmatan babi yang sulit didapatkan lagi. Juga kisah perempuan yang harus berburu ketika hamil serta peristiwa kematian bayi.

Namun selain itu, saya juga mendapat cerita tentang sains yang berbeda. Bukan hanya cerita soal keinginan membuat temuan besar, yaitu mengungkap asal usul manusia dan mengupayakan kedokteran presisi, tetapi juga soal sains yang lebih memberdayakan serta etis.

Di sana, ada cerita soal upaya menggunakan hasil riset untuk usaha konservasi.

Suku Punan Batu tinggal di liang Gua Meriam di Hutan Benau, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Rabu (31/5/2023). Suku Punan Batu menjadi suku terakhir di Kalimantan yang masih berburu dan meramu serta hidup berpindah-pindah tempat tinggal. Pemerintah Kabupaten Bulungan memberikan surat keputusan pengakuan Suku Punan Batu sebagai Masyarakat Hukum Adat.KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Suku Punan Batu tinggal di liang Gua Meriam di Hutan Benau, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Rabu (31/5/2023). Suku Punan Batu menjadi suku terakhir di Kalimantan yang masih berburu dan meramu serta hidup berpindah-pindah tempat tinggal. Pemerintah Kabupaten Bulungan memberikan surat keputusan pengakuan Suku Punan Batu sebagai Masyarakat Hukum Adat.
Peneliti genetika dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology dan antropolog dari Amerika Serikat yang semula cuma ingin mengungkap biologi dan budaya Punan Batu akhirnya mengembangkan riset untuk mengakomodasi keinginan suku Punan Batu: menjaga hutan.

Dalam perkembangan risetnya, mereka berkolaborasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com