Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Bom Waktu di Balik Covid-19, Penyakit Kronis Mengintai Setelah Krisis

Kompas.com - 16/05/2020, 12:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Boby Febri Krisdianto

SEJAK pertengahan April lalu, 20 wilayah di Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah lajur penyebaran virus corona di kota-kota tersebut. Di tengah kasus baru Covid-19 yang cenderung terus menanjak, kita belum tahu pasti kapan pembatasan ini akan dicabut.

Berbeda dengan kebijakan dan seruan menjaga jarak sosial 1-2 meter antarorang, PSBB menerapkan peraturan yang lebih ketat karena ada mekanisme penegakan hukum bagi pelanggar.

Dampak kebijakan tersebut, jutaan orang di berbagai kota tersebut lebih banyak beraktivitas di rumah selama berminggu-minggu. Tanpa melakukan gerak fisik yang cukup, sejumlah riset menunjukkan ada bahaya “bom waktu” yang mengancam di depan mata: penyakit kronis meningkat akibat gaya hidup menetap (sedentary life style) selama pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, kita harus memperhatikan beberapa pengaturan aktivitas fisik di rumah dan lingkungan untuk mencegah datangnya penyakit kronis saat pandemi dan setelah krisis kesehatan kali ini.

Banyak di rumah, kurang gerak

Selama PSBB, hampir semua murid dan pekerja kantoran melakukan aktivitasnya di rumah. Alhasil, internet menjadi kebutuhan pokok bagi murid dan pekerja kantor.

Internet (93,5 %) juga digunakan sebagai informasi kesehatan utama selama pandemik. Aktivitas masyarakat akan lebih banyak dalam duduk atau rebahan sambil bermain game menonton televisi, gadget seluler dan bekerja di depan komputer.

Hasil survei Mckinsey menunjukkan selama pandemi, sebagian besar masyarakat Indonesia lebih sering meluangkan waktunya untuk menonton televisi, mengkonsumsi berita online, dan menggunakan media sosial.

Terdapat penambahan 35% untuk penggunaan online streaming. Sama halnya untuk video conferencing baik yang personal dan profesional chat yang bertambah 25% dan 38%.

Pengguna pembelajaran jarak jauh seperti Moodle dan Google Classroom juga meningkat sampai 39%. Pemakaian fasilitas hiburan di rumah berupa permainan online games, tik-tok dan menonton e-sport meningkat sebesar 32%, 15% dan 28%.

Di bidang jasa pengantaran makanan restoran dan kebutuhan sehari-hari, ada peningkatan tajam yaitu 36% dan 41%.

Dari data tersebut, bisa kita ketahui bahwa pandemi Covid-19 memicu meningkatnya gaya hidup “ogah gerak” di masyarakat Indonesia.

Hubungan antara berdiam lama dan penyakit kronis

Gaya hidup sedentary ditunjukkan dengan menghabiskan waktu yang cukup lama dengan banyak diam, misalnya menonton televisi atau duduk terlalu lama.

Penelitian Universitas Missouri pada 2015 menyebutkan, duduk selama 6 jam atau lebih dapat merusak fungsi sirkulasi aliran darah dan meningkatkan nilai tes gula darah 2 jam setelah makan (glukosa post-prandial), asam lemak darah, peradangan, dan stres oksidatif.

Perilaku tersebut sebelumnya juga diteliti oleh Neville Owen dari Universitas Queensland pada 2010. Riset ini menemukan, ada hubungan antara gaya hidup sedentary dan penyakit metabolik seperti obesitas, hipertensi, diabetes tipe dua dan kanker kolon dan kanker payudara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com