Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Perusahaan di Balik Proyek Rempang Eco-City yang Ditolak Warga

Kompas.com - 13/09/2023, 19:05 WIB
Muhdany Yusuf Laksono

Penulis

KOMPAS.com - Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sedang menjadi sorotan publik dalam beberapa hari terakhir.

Bermula dari terjadinya bentrok antara masyarakat sekitar dengan tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP, pada Kamis (7/9/2023) lalu.

Di mana ratusan warga memblokade jalan agar tim gabungan tidak masuk ke wilayah Pulau Rempang untuk mengukur lahan dan pemasangan patok.

Kegiatan pengukuran lahan dan pemasangan patok di Pulau Rempang dalam rangka proyek Rempang Eco-City.

Dikutip dari laman resmi BP Batam, proyek Rempang Eco-City mencakup pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan renewable energy.

Rencana pengembangan wilayah Rempang telah dimulai sejak 2004 berdasarkan Akta Perjanjian No. 66 Tahun 2004 kerjasama antara BP Batam dan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG).

Lalu, PT MEG resmi menjadi nakhoda untuk mengembangkan kawasan seluas 17.000 hektar itu pada 12 April 2023 lalu, ditandai dengan Peluncuran Program Pengembangan Kawasan Rempang di Jakarta.

Baca juga: BP Batam Serahkan Surat Keputusan Pembangunan Rempang Eco City

Sementara untuk nilai investasi pengembangan proyek Rempang Eco-City mencapai Rp 381 triliun dan ditargetkan menyerap lebih dari 300.000 tenaga kerja.

Duduk Persoalan

Permasalahan yang sedang menghangat antara masyarakat Pulau Rempang dengan BP Batam dan Pemerintah itu berakar dari penolakan warga terhadap proyek Rempang Eco-City.

Sebab, adanya proyek tersebut membuat warga yang telah bermukim selama ratusan tahun secara turun temurun terancam kehilangan tempat tinggal.

Meskipun BP Batam akan menyiapkan hunian tetap relokasi bagi masyarakat terdampak ke kawasan Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang, yang dinilai menguntungkan warga yang rerata berprofesi nelayan.

Hunian tetap yang disiapkan berupa rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi.

Seperti halnya yang telah disampaikan perwakilan masyarakat yakni, Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) pada 25 Juli 2023 lalu.

"Kami sangat menolak relokasi kampung yang sudah turun temurun kami tempati ini," kata Ketua Keramat Gerisman Achmad, Selasa (25/7/2023), dikutip dari pemberitaan Kompas.com.

Penolakan relokasi tersebut telah disampaikan ke Komnas HAM, DPR, DPD, kementerian di Jakarta, hingga Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepri.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com