Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Virdika Rizky Utama
Peneliti PARA Syndicate

Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.

ASEAN Mesti Melakukan Aksi Nyata

Kompas.com - 14/07/2023, 10:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA mempersiapkan diri untuk Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) yang diselenggarakan pada 11-14 Juli 2023. Poin-poin diskusi penting yang akan dibahas termasuk perkembangan kode etik (COC) untuk Laut China Selatan, pelestarian Asia Tenggara yang bebas senjata nuklir, dan penyempurnaan visi jangka panjang ASEAN.

Di tengah-tengah agenda dialog itu, ada satu pertanyaan yang mencuat: Apakah ASEAN siap untuk menegaskan dirinya dalam lanskap geopolitik yang semakin genting?

Sejumlah Tantangan

 

Tantangannya beragam. Meski kaya dengan keanekaragaman budaya dan kekuatan, keragaman dan multipolaritas yang melekat di dalam ASEAN telah memunculkan perpecahan dan kontradiksi.

Baca juga: ASEAN-China Sepakati Panduan untuk Percepat Negosiasi Kode Etik di Laut China Selatan

Salah satu manifestasinya yang menonjol adalah perjuangan organisasi ini untuk menyajikan sikap yang bersatu dalam isu-isu penting. Ketidaksepakatan ini semakin diperparah dengan munculnya kompleksitas baru, sehingga ambisi Indonesia untuk memperkuat solidaritas dan sentralitas ASEAN menjadi sesuatu yang patut dipuji sekaligus menakutkan.

Masalah COC yang masih ada di Laut China Selatan merupakan contoh teka-teki yang terus berlanjut. Sengketa teritorial yang tidak menentu di kawasan ini, yang dipicu kepentingan ekonomi di Laut China Selatan, telah mengakibatkan ketidakstabilan kawasan dan persaingan strategis yang semakin ketat.

Niat ASEAN untuk menyelesaikan COC, sebuah kebijakan yang pertama kali diusulkan tahun 2002, masih harus dipenuhi. Penundaan ini menimbulkan keraguan akan kemampuan ASEAN untuk mengaktualisasikan niat kebijakan tersebut ke dalam hasil yang nyata.

Waktunya telah tiba bagi ASEAN untuk bergerak lebih dari sekadar dialog dan menghidupkan inisiatif ini, mengubah tujuan yang sulit dipahami menjadi kenyataan yang kuat.

Kolaborasi ASEAN dengan Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Island Forum/PIF) dan Asosiasi Lingkar Samudra Hindia (ndian Ocean Rim Association/IORA) semakin memperjelas narasi 'Indo-Pasifik' dari organisasi ini. Narasi ini, meskipun bermaksud untuk mendorong inklusivitas, dapat menjadi korban dari persaingan geopolitik yang lebih luas.

Aspirasi ASEAN untuk berperan sebagai entitas yang mempromosikan perdamaian dan netral mungkin perlu dibantu dengan mempertimbangkan narasi geopolitik yang melingkupinya. Karena itu, ASEAN bisa menavigasi dengan hati-hati dan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasarnya untuk saling menghormati dan tidak saling mencampuri.

Hal rumit lainnya yang dihadapi ASEAN adalah perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (The Southeast Asia Nuclear-Weapon-Free Zone/SEANWFZ) yang sebagian besar diabaikan. Meskipun Jakarta telah menghidupkan kembali desakannya untuk kepatuhan negara-negara pemilik senjata nuklir (nuclear weapon states/NWS), keberhasilan mungkin menuntut lebih dari sekadar advokasi.

Hal itu mungkin membutuhkan strategi multifaset yang memanfaatkan tekanan diplomatik, penegakan hukum internasional, dan kemitraan strategis untuk mendorong kepatuhan.

Krisis di Myanmar melambangkan tantangan diplomatik yang dihadapi ASEAN. Meskipun mengagumkan, prinsip non-intervensi organisasi ini telah dikecam karena kurangnya tindakan nyata setelah kudeta di Myanmar.

Meskipun Kementerian Luar Negeri menyangkal adanya 'kelelahan di Myanmar', persepsi publik menggarisbawahi ketidakberhasilan tersebut. Lebih dari 110 pertemuan dengan para pemangku kepentingan di Myanmar hanya menghasilkan sedikit kemajuan yang berarti.

Walau dialog inklusif sangat penting, ASEAN perlu memprioritaskan tindakan tegas untuk memulihkan demokrasi dan mengurangi penderitaan rakyat Myanmar. Tekad kepemimpinan Indonesia untuk 'menjembatani perbedaan' patut diapresiasi, namun hal ini harus disertai dengan tindakan nyata.

Baca juga: Penduduk Tumbuh Terus, ASEAN Ajak India Kerja Sama Ketahanan Pangan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com