SELAMA beberapa dekade terakhir, pengaruh Republik Rakyat Tiongkok (selanjutnya disebut Tiongkok) di Asia Pasifik telah meningkat secara luar biasa; tidak hanya dari segi kekuatan ekonomi dan militer, tetapi juga dari segi soft power.
Pada saat yang sama, Amerika Serikat (AS) juga berusaha meningkatkan pengaruh di kawasan itu, mengalihkan sumber daya utama dari Timur Tengah dan perang melawan terorisme ke kawasan Asia Pasifik. Gerakan ini juga dikenal sebagai ‘Poros Asia’ AS.
Tarik menarik dua kepentingan besar itu berkembang seiring dengan inisiatif Perdagangan Bebas Asia (FTA) yang didorong oleh dua kekuatan dunia, termasuk Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang dipimpin AS, dan Area Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP) yang dipimpin Tiongkok.
Sembari mengembangkan FTAAP, Tiongkok juga mempromosikan ambisi Presiden Xi Jinping yang disebut "Mimpi Asia-Pasifik".
Di hadapan para peserta KTT Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), 9 November 2014, di Bejing, Presiden Xi Jinping mengemukakan bahwa Tiongkok memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan ‘Mimpi Asia-Pasifik’ bagi masyarakat di kawasan ini.
Mengapa? Meski tak disampaikan, Xi Jinping menyadari bahwa kawasan Asia Pasifik strategis secara geopolitik dan memiliki potensi sangat besar dalam bidang sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), ekonomi-perdagangan, dan sosial-budaya.
Secara ekonomi, misalnya, pada 2007 kontribusi negara berkembang Asia-Pasifik terhadap pertumbuhan global mencapai 40 persen. Diproyeksikan pada 2030, kontribusinya akan mencapai 60 persen.
Kawasan Asia-Pasifik juga akan bertanggung jawab atas mayoritas (90 persen) dari 2,4 miliar anggota baru kelas menengah yang memasuki ekonomi global. (Bdk. World Econmic Forum, 2019).
Xi Jinping ingin menjadikan “Mimpi Asia-Pasifik” salah satu bagian dari strategi ‘soft power’-nya.
Ilmuwan politik, Joseph Nye (2004), mendefinisikan soft power sebagai "kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui daya tarik sosial-budaya, ekonomi, cita-cita politik, dan kebijakan suatu negara, daripada melalui paksaan atau pembayaran.
Sebagai sebuah strategi soft power, "Mimpi Asia-Pasifik’ menggunakan dua mekanisme, yaitu difusi norma dan dominasi wacana.
Mimpi tersebut memiliki dua arah utama, yaitu untuk menemukan cara yang tepat menjegal strategi soft power AS, dan menemukan langkah-langkah yang tepat agar kebijakan luar negeri Tiongkok menjadi sebuah kekuatan global.
‘Mimpi Asia-Pasifik’ bertujuan antara lain untuk memelihara hubungan yang stabil dan bersahabat dengan tetangganya serta membangun rasa saling percaya, memperoleh stabilitas pasokan sumber daya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, memperoleh posisi pengaruh politik yang kuat, mencegah pembentukan aliansi strategis yang diarahkan melawan Tiongkok, mendapatkan dukungan kawasan dalam strategi internasionalnya, menciptakan dunia yang multipolarisasi, dan memperluas kekuatan lunaknya (Bdk. Li (2015: 30).
Menurut Li dan Worn (2010) ‘Mimpi Asia-Pasifik’ memanfaatkan enam sumber kekuatan lunak, yaitu: budaya, nilai-nilai politik, kebijakan luar negeri, model pembangunan ekonomi, citra internasional, dan daya tarik ekonomis.
Jika diperas lebih kuat lagi maka keenam elemen tersebut menghasilkan tiga elemen kunci, yaitu pembangunan, konektivitas ekonomi, dan persatuan Asia dengan penekanan pada harmoni atau kerukunan, saling menguntungkan dan kemakmuran untuk seluruh wilayah.