KABUL, KOMPAS.com - Zarifa Ghafari (29 tahun) memiliki luka yang dalam di kakinya karena ia harus lari dari kantornya saat Taliban mendekati Kabul.
Selama 10 kilometer "di bawah sinar matahari yang mematikan", dia terus berlari ke tempat yang lebih aman, mengumpulkan saudara perempuannya dari universitas di jalan.
Dengan kondisi Afghanistan sekarang, rencana pesta pernikahan, dan kelulusan saudara perempuannya gagal.
"Kami yang baru saja hidup normal, mendadak, semuanya pergi 'boom'. Setiap orang, semua mimpi kami hancur. Hati kami berhenti. Semua orang sangat kesakitan," protesnya.
Baca juga: Genjot Proses Evakuasi, AS Terjunkan Lebih Banyak Petugas Konsuler ke Afghanistan
Ghafari pada usia 26 tahun telah menjadi salah satu wali kota wanita pertama Afghanistan di kota konservatif Maidan Shar, barat daya Kabul.
Dia dilarang menjabat selama 9 bulan karena protes dan ancaman oleh politisi lokal tentang usia dan jenis kelaminnya.
Melansir Sydney Morning Herald pada Selasa (17/8/2021), ia juga tidak asing dengan upaya pembunuhan. Tiga kali dia coba dibunuh, syukurnya digagalkan oleh pihak keamanannya.
Namun, selama 3 tahun dia menjalankan pekerjaannya, baru pada Mei 2021, dia mengatakan kepada majalah Time bahwa "bekerja sebagai wali kota wanita, itu adalah upaya terus-menerus agar kekuatan wanita diterima".
Pada November 2020, ayahnya Jenderal Abdul Wasi Ghafari ditembak mati di depan rumahnya oleh Taliban, beberapa hari setelah diketahui ia adalah ayah dari wali kota wanita pertama Afghanistan.
"Taliban membunuh ayah saya hanya karena dia bekerja untuk pemerintah Afghanistan, hanya karena dia seorang tentara. Mereka membunuhnya hanya karena dia berjuang untuk bangsanya dan negara ini. Mereka membunuhnya hanya karena dia adalah ayahku, ayah dari seorang gadis yang berjuang untuk bangsanya, untuk negara ini,” terangnya.
Baca juga: POPULER GLOBAL: Presiden Afghanistan Ada di UEA | Pawang Buaya di AS Nyaris Dimangsa
Dalam kondisi Afghanistan sekarang, Ghafari tahu dia menjadi target Taliban. Pada Minggu (15/8/2021), ketika milisi Taliban tiba di gerbang kota, dia mengatakan kepada seorang jurnalis dari Sunday Independent.
"Saya duduk di sini menunggu mereka (Taliban) datang. Tidak ada yang membantu saya atau keluarga saya. Mereka akan datang untuk orang-orang seperti saya dan membunuh saya," ujarnya putus asa kepada jurnalis tersebut.
Tidak ada kata-kata pertengkaran lagi dari Ghafari dalam panggilan telepon dari Kabul. Hanya ada isak tangis, patah hati, kehancuran, dan keputusasaan.
“Untuk keuntungan yang kami miliki, itu datang dengan pengorbanan yang besar. Kami membayar harga dengan kerja keras kami, kami mendapatkannya dengan darah kami," ucapnya.
"Bukan hanya 20 tahun, bukan hanya hak perempuan, bukan hanya hak asasi manusia, bukan hanya pendidikan, dan kemajuan. Ini tentang kehidupan yang telah dikorbankan untuk kemajuan yang telah dibuat dalam 20 tahun ini,” lanjutnya.