Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yogya Darurat Sampah, Ahli UGM: Kesadaran Masyarakat Masih Minim

Kompas.com - 14/08/2023, 08:15 WIB
Mahar Prastiwi,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setelah ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul, Yogyakarta sejak 23 Juli 2023 silam menyebabkan penumpukan sampah di Yogyakarta menjadi tidak terkendali.

Sebagian warga memilih membakar sampahnya yang tentunya berdampak pada kualitas udara. Namun yang lebih memprihatinkan banyak ditemukan penumpukan sampah di sepanjang jalan maupun di rumah kosong yang ada di pinggir jalan.

Penutupan TPA Piyungan ini merupakan buntut dari kapasitas penampungan sampah di lahan TPA Piyungan sudah melebihi batas.

Baca juga: Hari Pramuka 2023: Ketahui 4 Alasan Seragam Pramuka Berwarna Cokelat

Melihat penanganan sampah di Yogyakarta yang terjadi baru-baru ini, ahli politik Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM membeberkan beberapa fakta dari segi regulasi dan sosial kepedulian masyarakat terhadap sampah.

"Pertanyaannya, kenapa setelah penuh setelah ditutup baru gaduh. Memangnya selama ini kita tidak punya masalah sampah? Sekarang kita bisa melihat ya, yang selama ini kita kira sudah dikelola, ternyata belum," terang Nur Azizah dalam diskusi berjudul "Piyungan Penuh, Masyarakat Gaduh" seperti dilansir dari laman UGM, Senin (14/8/2023).

Kesadaran masyarakat akan sampah masih sangat minim

Menurutnya, kesadaran masyarakat akan sampah masih sangat minim. Bahkan setelah penutupan TPA Piyungan yang menyebabkan penumpukan sampah di pemukiman.

"Penutupan ini kan, bukan pertama kalinya. Tapi terus berulang dan belum memiliki solusi yang tepat," jelas Nur.

Menurutnya, peraturan mengenai pengelolaan sampah telah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sayangnya, implementasi dari regulasi tersebut masih sangat kurang.

"Kalau kita lihat dari undang-undang, isinya itu canggih sekali. Sudah disebutkan tentang 3R (Reduce, Reuse, Recycle), bahkan muncul juga EPR atau Extended Producer Responsibility. Kalau kita cek lagi di 2008 itu, TPA yang sebelumnya adalah Tempat Pembuangan Akhir, sudah diubah menjadi Tempat Pemrosesan Akhir. Jadi secara ide, undang-undang itu sudah mengadopsi bahwa yang masuk ke TPA itu adalah residu saja," tutur Nur.

Baca juga: 5 Kampus Kedokteran Terbaik di Indonesia 2023 dan Biaya Kuliahnya

Tak hanya itu, regulasi tersebut juga menyebutkan target untuk mengubah TPA di seluruh Indonesia menjadi berbasis sanitary landfill dalam kurun waktu lima tahun.

Padahal dalam praktiknya, mayoritas TPA hanya digunakan sebagai lokasi penumpukan sampah saja, bukan pengelolaan sampah. Bahkan instrumen pengawasan dan evaluasi juga belum ada.

Hal ini menyebabkan hingga pada 2021 gunungan sampah di TPA tidak pernah dikelola dengan baik.

Selain dari segi regulasi, masyarakat juga memiliki peran penting dalam proses pengelolaan sampah.

Edukasi pengelolaan sampah

Salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran tersebut adalah edukasi melalui sektor pendidikan. Upaya tersebut sudah dilakukan sejak 2021 oleh Suci Lestari Yuana, MIA., dosen Fakultas Ilmu Politik dan Sosial (Fisipol) UGM dengan membuka sekolah economy circular.

"Kami selalu berpikir, jika ingin membuat perubahan jangka panjang. Maka kita mulai dari pendidikan. Kita undang kepala sekolah di pulau Jawa, ya sementara ini. Kita kenalkan sistem ekonomi sirkular yang sederhana tapi berdampak besar," ungkapnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com