DALAM dunia guru, kasta terendah ditempati guru honorer, level dua oleh guru PPK, dan level tertinggi ditempati oleh guru ASN bersertifikasi.
Guru honorer di sekolah kerap kali dipandang sebelah mata. Maklum saja status mereka di sekolah mengambang dan tidak jelas. Padahal kompetensi mengajarnya sama saja dengan guru-guru dengan dua kategori di atas.
Gaji guru honorer juga tidak usah ditanya lagi. Di daerah minim anggaran, gaji guru honorer hanya sekitar Rp 300.000. Bahkan ada yang lebih rendah dengan sistem perhitungan jam, yakni Rp 6.000 per satu jam mengajar.
Jelas saja gaji mereka sangat jauh di bawah upah minimum daerah manapun. Kerap kali guru honorer memilih mundur, mencari pekerjaan lain ketimbang jadi guru.
Realistis, dengan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi setelah kenaikan harga BBM, gaji Rp 300.000 itu bisa buat apa?
Di Malaysia, rekrutmen guru disiapkan sejak di bangku universitas. Untuk menjaga mutu guru dan daya serap tamatan keguruan, dilakukan pendataan berapa jumlah kekurangan guru.
Kuota itu akan dibagi-bagi ke universitas pengelola guru untuk merekrut mahasiswa keguruan sesuai proyeksi kebutuhan guru.
Di Malaysia hanya kampus-kampus negeri yang boleh menyelenggarakan sekolah untuk calon guru.
Di Indonesia model pemikiran seperti itu belum nampak. Semua kampus bebas membuka sebanyak-banyaknya penerimaan calon mahasiswa guru, akibatnya jumlah tamatan jurusan keguruan melimpah bagaikan cendawan di musim hujan.
Melimpahnya calon-calon tenaga guru ini, tidak berbanding dengan ketersediaan jumlah sekolah. Sehingga jadilah guru-guru honorer yang baru wisuda mengajar di sekolah mana saja dengan gaji seadanya, dengan pola kerja wajib datang setiap hari.
Ketika tuntutan perut tidak bisa lagi kompromi, guru-guru honorer itu alih profesi di luar guru. Banyak memilih jadi ojol, meskipun dengan hati perih mengingat gambaran manis semasa kuliah untuk menjadi guru ternyata berbenturan dengan kenyataan pahit di lapangan.
Datang dan perginya guru honorer, silih berganti di sekolah-sekolah yang tidak tersentuh guru ASN, akan membuat wajah pendidikan menjadi semakin centang perenang.
Maklum saja jika diajar oleh guru yang berbeda-beda setiap waktu, maka akan ada keterputusan materi, yang dimulai lagi dengan gaya mengajar berbeda oleh guru honorer lain.
Tidak semua sekolah ada guru ASN, terutama di daerah-daerah terpencil dan sekolah swasta.
Guru-guru ASN tersentralisasi di kota-kota. Tidak banyak guru ASN yang mau ditempatkan di sekolah-sekolah terpencil minim fasiltas. Di sinilah guru honorer mengambil peran, berjibaku mencerdaskan anak-anak bangsa yang haus ilmu pengetahuan.