Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar IPB: 50 Persen Rakyat Indonesia Alami Kelaparan Tersembunyi

Kompas.com - 18/09/2022, 09:45 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof. Drajat Martianto mengatakan, meski kondisi ketahanan pangan Indonesia masih tergolong baik, tapi terjadi penurunan dalam ketahanan pangan nasional.

Dia menyebut, posisi Indonesia di Global Food Security Index mengalami penurunan pasca pandemi Covid-19.

Baca juga: Kasus Santri Tewas, Ada Kesalahpahaman antara Ponpes Gontor dan Keluarga

"Indonesia saat ini menghadapi triple burden of malnutrition, 3 masalah gizi sekaligus, yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas dan kurang gizi mikro (KGM) atau disebut sebagai kelaparan tersembunyi (the hidden hunger)," kata dia dalam keteragannya, Minggu (18/9/2022).

Menurut dia, tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi (hidden hunger).

Yaitu, berupa defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya.

Dia menjelaskan, penelitian menunjukkan hanya 1 persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro (yang mengandung karbohidrat).

Yang menjadi masalah adalah hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan kacang-kacangan.

"Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah, dan sayuran. Mereka mengalami kelaparan tersembunyi," jelas dia.

Disebut kelaparan tersembunyi, karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, tapi sesungguhnya dampaknya sangat besar.

"Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan, dan imunitas," ungkap dia.

Baca juga: Kemendikbud Ristek: Seleksi Masuk PTN 2023 Lebih Bebas Tentukan Prodi

Secara nasional, lanjutnya, Indonesia dapat mengalami kerugian lebih dari Rp 50 triliun dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB).

Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain.

"Aneka ragam pangan, suplementasi dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective," ujarnya.

Menurutnya, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang yodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen.

Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com