SEJATINYA perguruan tinggi adalah institusi paling ‘mulia’ karena sifatnya yang inovatif, terbuka dengan ragam pemikiran, kritis, serta ‘bersih’ dari segala kepentingan politik dan dominasi kekuasaan yang merugikan masyarakat.
Di samping itu, perguruan tinggi juga mengemban tanggung jawab mulia dalam membentuk karakter bangsa melalui pendidikan dan menjadi salah satu sektor penting yang menentukan masa depan dan majunya suatu bangsa.
Dalam upaya mengembalikan perguruan tinggi kepada marwahnya, salah satu hal yang harus dipertimbangkan adalah pemilihan pimpinan, terutama yang memegang posisi-posisi strategis dan penting di kampus, seperti rektor dan dekan.
Seorang pimpinan kampus memegang peran penting terutama terkait kemajuan institusi, berjalannya Tridharma Perguruan Tinggi, dan yang terpenting lagi adalah keberlangsungan (sustainability) kampus di masa depan.
Mempertimbangkan rekam jejak seorang pemimpin adalah hal wajib karena jika salah memilih, masa depan dan reputasi perguruan tinggi akan menjadi taruhannya.
Seorang pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan (leadership) dan konsep yang visioner dan jelas. Hal itu tercermin dalam visi-misinya.
Pemimpin dengan kualitas ini mampu melihat peluang dan mengembangkan strategi berdasarkan analisis yang matang dan terukur untuk keberlangsungan institusi.
Baca juga: Ketika Kampus Disusupi Kepentingan Politik dan Kekuasaan
Hal ini penting karena dunia terus mengalami perubahan tren dari waktu ke waktu sehingga kebutuhan terhadap pasar juga berubah-ubah.
Oleh karena itu, pimpinan kampus harus adaptif, kreatif, dan inovatif dalam mengoptimalkan keilmuan yang telah ada untuk berkontribusi maksimal sesuai dengan kebutuhan publik.
Contoh lain, jika harus membuka program studi baru, seorang pimpinan perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) juga harus memiliki dasar studi kelayakan dan analisis SWOT yang terukur.
Pimpinan harus mempertimbangkan banyak aspek seperti relevansi dan kontribusi program studi dengan kebutuhan keilmuan saat ini serta bagaimana prodi tersebut bisa berdampak positif terhadap sustainability kampus.
Jangan sampai program studi tersebut menjadi ‘beban’ baru bagi suatu institusi, mengingat PTS bersifat otonom terutama dalam tata kelola keuangan.
Selain itu, seorang pemimpin harus bersikap profesional. Sikap profesional yang dimaksud adalah kemampuan membangun kultur lingkungan kerja yang akademis, nyaman, dan bebas dari segala bentuk tekanan yang bersifat feodalistik.
Profesional juga bisa diartikan tidak menggunakan jabatan untuk ‘bertangan besi’ dan bersikap sewenang-sewang terhadap dosen, pegawai, dan mahasiswa.
Kultur kerja di perguruan tinggi tidak sama dengan korporat yang masih banyak memberlakukan kultur kerja berdasarkan senioritas atau atasan-bawahan (meskipun tidak semua).