Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prof Goenadi: Banyak Hasil Inovasi Masih Terhenti di Hak Paten

Kompas.com - 01/11/2021, 15:03 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Prof. Didiek Hadjar Goenadi dari Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri mengungkapkan masih banyak hasil inovasi masih terhenti pada paten atau HaKi (Hak atas Kekayaan Intelektual) dan belum menjadi produk komersial.

"Saya melihat banyak temuan yang dipatenkan, tetapi sedikit sekali yang menjadi produk komersial," kata Prof. Didiek Hadjar Goenadi melalui keterangan resmi (30/10/21).

Terkait banyaknya paten yang sulit dikembangkan menjadi produk komersial, Prof. Goenadi mengatakan, karena banyak peneliti dan inventor yang membuat temuan tanpa memikirkan kalau hal itu berpotensi ekonomi atau tidak.

"Sehingga paten tersebut hanya dicatat, tanpa pernah dikomersialkan," ungkap Prof. Goenadi.

"Saya mengimbau pada para peneliti yang punya ide-ide cemerlang, untuk sering berkunjung ke lembaga paten (patent search) agar punya gambaran produknya tersebut sudah pernah dipatenkan orang lain," saran Prof. Goenadi.

Saran ini diberikan dengan tujuan, peneliti nantinya tidak lagi membuang waktu membuat temuan yang pernah dibuat orang lain.

Prof. Goenadi juga menambahkan, para inventor dan peneliti dapat berfokus pada temuan yang memiliki nilai atau potensi ekonomi.

"Jadi ketika temuan tersebut menjadi produk jadi akan dilirik oleh investor. Bukan asal bikin invensi, tapi buatlah yang bernilai ekonomi nyata. Apalagi produk tersebut memang bermanfaat bagi masyarakat," tegas Prof. Goenadi.

Prof. Goenadi memperkirakan jumlah inventor di Indonesia mencapai 10 ribu orang. Jumlah itu terbilang kecil dibandingkan China yang pendaftaran kekayaan intelektualnya mencapai 268 ribu paten per tahun.

Baca juga: Tiga Peneliti UGM Masuk Daftar 2 Persen Peneliti Teratas Dunia 2021

"Para peneliti Indonesia diharapkan tidak bisa hanya sekadar sebagai peneliti, tetapi perlu punya temuan yang berpeluang komersil. Para inventor ini tak perlu mendaftar, keanggotaannya berlaku otomatis asalkan WNI," ujarnya.

Selain inovasi yang dinilai kurang menarik industri, Prof Goenadi mengungkapkan, kendala yang dihadapi peneliti/inventor dalam proses hilirisasi produk adalah keterbatasan dana.

Hasil temuan itu kebanyakan berhenti hingga tingkat kesiapanterapan teknologi atau Technology Readiness Level (TRL) 7.

"Sementara industri hanya mau kerja sama jika temuan sudah TRL 8-9. Padahal, untuk mencapai TRL 8-9, butuh waktu, uang dan tenaga yang besar juga. Akhirnya, temuan berharga hanya disimpan dalam laci meja kerja," jelas Prof Goenadi yang menganalogkan kondisi TRL 7-8 sebagai lembah kematian (death valley) bagi inventor.

Terkait hal itu, Prof. Goenadi yang juga merupakan Ketua Asosiasi Inventor Indonesia (AII) menyatakan pihaknya siap membantu para inventor untuk hilirisasi produk sehingga temuan tak hanya berhenti sampai di paten.

Prof. Goenadi menyampaikan, AII akan membantu para inventor agar tak terjadi lagi "syndrome of the death valley" dengan akan mempertemukan inventor dengan investor untuk hilirisasi produk.

"Tahun ini, AII bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk hilirisasi produk hasil grand riset sawit (GRS), terutama pada invensi yang berhubungan dengan kelapa sawit," katanya.

Baca juga: Mahasiswa hingga Peneliti Indonesia-Belanda Berkolaborasi di Pekan Pendidikan-Riset 2021

Ditanya soal keanggotaan, Prof. Goenadi mengatakan, secara otomatis mereka yang terdaftar dalam HaKi bisa menjadi anggota AII. Namun, keanggotaan itu hanya berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI).

 

Turut hadir dalam kesempatan itu, Edi Wibowo (Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), Jonbi (Sekjen AII), Chandra Manan Mangan (Bendahara AII), Muhammad Ibnu Fajar (Ketua Bidang Kerja Sama), Ade Rintoro (Ketua Bidang Valuasi dan Komersialisasi Teknologi), dan Laksmita Prima Santi (Ketua Bidang Keanggotaan).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com