KOMPAS.com - Raja Idris I yang memimpin Libya pergi ke sebuah tempat spa di Turki pada suatu hari di tahun 1969. Dia bermaksud mengobati sakit kaki yang dirasakannya.
Namun, tidak ada yang menyangka kepergian itu menandakan Raja Idris I harus meninggalkan istananya untuk selamanya. Sebab, Libya akan segera dikuasai kelompok revolusioner, yang dipimpin pemuda bernama Moammar Khadafi.
Dilansir dari History.com, Khadafi yang saat itu berusia 27 tahun menilai rajanya cuek pada rakyat dan lebih fokus pada pandangan konservatifnya.
Khadafi adalah lulusan Universitas Libya dan seorang pengagum pemikiran nasionalis Mesir, Gamal Abdel Nasser. Ia menjadi seorang perwira militer Libya ketika muncul persekongkolan untuk menggulingkan raja.
Baca juga: Gencatan Senjata di Libya, Harapan Perdamaian dari Seluruh Dunia Bergulir
Sebagaimana yang direncanakan, kudeta berhasil dilakukan tanpa mengucurkan darah ketika raja ke luar negeri, pada tanggal 1 September 1969.
Sistem monarki dihapuskan dan Khadafi naik menjadi panglima tertinggi militer Libya, serta ketua Dewan Komando Revolusi. Di usia semuda itu, ia menguasai Libya.
Sementara Raja Idris I memutuskan tidak kembali ke Libya. Dia memilih pergi ke Yunani, lalu mendapatkan suaka di Mesir hingga meninggal dunia pada 1983.
Dalam memimpin Libya, Khadafi memadukan sikap ortodok Islam, nasionalisme Arab dan sosialisme revolusioner. Dia secara jelas memosisikan Libya anti-barat dan bersikap otoritarian.
Setelah sekitar satu tahun berkuasa, secara tegas dia menutup pangkalan militer Inggris dan Amerika, serta mengusir warga Italia dan Yahudi. Tiga tahun berikutnya ladang-ladang minyak diambil alih negara.
Kebijakan dalam negeri lainnya adalah menegakkan hukum syariat islam pada rakyat dan mengembangkan jaminan sosial demi meningkatkan kesejahteraan mereka.
Sementara kebijakan luar negerinya mendekati Mesir dan negara Arab lainnya. Namun ketika negara-negara Arab memasuki proses perdamaian dengan Israel, Libya semakin terisolasi.
Keterlibatannya dalam pendanaan aksi terorisme juga menjadi perhatian berbagai negara. Di antaranya pada gerilyawan Palestina, pemberontakan muslim di Filipina, dan tentara Irlandia.
Periode 1980-an negara-negara barat menyalahkannya atas sejumlah serangan teror dan Amerika Serikat membalas dengan mengebom Ibukota Tripoli yang membuat Khadafi terluka dan putrinya meninggal dunia.
Pada 1990-an sikapnya berubah dan berupaya melepaskan negeri di pantai utara Benua Afrika itu dari isolasi diplomasi internasional.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memang cepat membuka hubungan ke Libya, namun Amerika Serikat baru tahun 2004 mencabut embargonya.
Revolusi pun kembali muncul untuk menggulingkan kepemimpinan Khadafi hingga terjadi perang saudara antara revolusioner dan loyalis pada Maret 2011.
Koalisi internasional di bawah resolusi Dewan Keamanan PBB, masuk pada Februari untuk menundukkan Khadafi.
Pada 20 Oktober di tahun yang sama, Khadafi dinyatakan tewas di dekat kampung halamannya, Kota Sirte.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.